Human Rights Watch (HRW) mengecam Israel karena membatasi warga Palestina yang mengalami luka-luka serius dan sakit keras, untuk mendapatkan perawatan kesehatan. HRW menyebut Israel telah bertindak semena-mena dengan menghalang-halangi, menunda-nunda dan mengabaikan warga Palestina yang harus segera meninggalkan Ghaza, untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
"Israel tengah menghukum orang-orang yang menderita sakit sebagai cara untuk menghancurkan Hamas. Tindakan itu salah, secara hukum dan moral, " kata Sarah Leah Whitson, direktur HRW wilayah Timur Tengah.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan militer Israel di perbatasan Ghaza terhadap warga Palestina, juga dikuatkan oleh organisasi Physicians for Human Rights (PHR) Israel. Menurut organisasi itu, pembatasan yang dilakukan oleh militer Israel makin memburuk sejak pertengahan bulan September, sejak Israel menyatakan Jalur Ghaza sebagai wilayah musuh.
Untuk itu Israel membatasi gerakan manusia dan barang-barang ke Jalur Ghaza, dengan tujuan menekan Hamas yang mengambil alih Ghaza pada bulan Juni kemarin. Israel juga menyatakan hanya akan mengizinkan warga Ghaza melintasi perbatasan, jika kondisinya benar-benar sekarat.
"Akibatnya, banyak para pemuda yang menderita luka tembak di bagian kakinya harus menjalani amputasi. Dan mereka yang membutuhkan perawatan mata, terpaksa kehilangan penglihatannya karena tidak ada dokter ahli mata di Ghaza, " demikian laporan PHR Israel.
PHR Israel juga menyatakan, sejak bulan Juni sedikitnya ada sembilan pasien asal Palestina yang membutuhkan perawatan kesehatan di luar Ghaza, ditangkap oleh anggota intelejen Israel Shabak. Para intel Israel itu mengancam warga Palestina agar mau menjadi informan Shabak atau kehilangan izin keluar Ghaza.
Sementara itu pada hari Senin (22/10) mahasiswa di Ghaza dan kelompok-kelompok hak asasi manusia Israel, menyampaikan desakan agar Mahkamah Agung Israel memaksa pasukan Israel mengizinkan sekitar 670 mahasiswa Palestina yang akan belajar ke luar negeri, ke luar Ghaza.
Direktur organisasi HAM Gisha, Sari Bashi menyatakan, petisi ke Mahkamah Agung itu merupakan tantangan pertama terhadap keputusan kabinet Israel yang menetapkan Ghaza sebagai wilayah musuh.
"Mencegah warga Palestina untuk bisa keluar dari Ghaza secara sengaja merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional yang melarang pemberlakuan hukuman secara kolektif, " tukas Sari Bashi.
Dalam petisi yang disampaikan Gisha dan tujuh mahasiswa Palestina ke Mahkamah Agung Israel, diserukan agar militer Israel menyediakan layanan bis khusus untuk mengangkut para mahasiswa yang memiliki izin menetap di luar negeri ke Mesir. Namun petisi itu ditolak oleh Mahkamah Agung Israel.
Sejak itu, sekitar 670 mahasiswa Palestina yang sudah diterima di institusi pendidikan yang lebih tinggi di sejumlah negara, terperangkap di perbatasan Ghaza dan tidak bisa pergi ke mana-mana. (ln/alarby)