Hamas hari Ahad kemarin (10/10) mengatakan bahwa persetujuan pemerintah Israel terhadap UU yang mewajibkan warga non-Yahudi untuk bersumpah setia kepada negara Yahudi adalah UU yang rasis dalam upaya untuk menghilangkan identitas warga Palestina.
Kabinet Israel hari Ahad kemarin telah memberikan suara mendukung amandemen undang-undang kewarganegaraan yang mewajibkan non-Yahudi yang ingin mendapatkan kewarganegaraan harus bersumpah setia untuk sebuah "Negara Yahudi dan negara demokratis."
Jurubicara Hamas Fawzi Barhoum mengatakan bahwa perubahan UU tersebut mengancam keberadaan warga Palestina. Dan pemimpin Arab dan masyarakat internasional lagi-lagi tetap diam terhadap sikap pemerintah Israel yang telah melanggar hukum internasional, katanya. Dia lebih jauh mengkritik diamnya organisasi hak asasi manusia atas masalah ini, yang katanya menunjukkan standar ganda.
Barhoum berkata bahwa RUU ini disahkan dalam rangkaian rencana Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman untuk mendirikan negara Yahudi dan mengusir warga Palestina dari Israel.
Perubahan sumpah kesetiaan yang diputuskan pada hari Ahad kemarin adalah salah satu dari serangkaian ‘hukum loyalitas’ yang diusulkan oleh partai Lieberman, Yisrael Beitenu.
Berbicara pada pertemuan kabinet mingguan hari Minggu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan dukungannya untuk amandemen UU, dan menegaskan bahwa "Tidak ada yang bisa memberitakan demokrasi atau pencerahan kepada kami," sambil menambahkan bahwa "Tidak ada demokrasi lain di Timur Tengah."
Pimpinan Inisiatif Nasional Palestina Mustafa Barghouthi mengatakan bahwa RUU ini sebuah deklarasi resmi apartheid.
Selama perundingan perdamaian di Washington bulan lalu, Presiden Mahmud Abbas telah menolak permintaan Netanyahu bahwa warga Palestina harus mengakui Israel sebagai negara Yahudi. Abbas mengatakan pengakuan tersebut akan mengancam hak-hak sipil warga Palestina yang tinggal di Israel, dan pengungsi Palestina akan kehilangan hak kembali mereka.(fq/mna)