Hamas, sekali lagi menyangkal berdirinya negara Islam Palestina yang sudah dideklarasikan Abdel Latif Moussa di Farah. Tak ada negara Islam dan raja atau pangerannya. Dan Hamas sama sekali tak berdiri di belakang Moussa untuk hal ini. Menurut Hamas, jika saja itu terjadi maka Palestina akan berubah menjadi negara sekular. “Tak ada bedanya dengan Turki-Recep Tayyip Erdogan.” begitu ujarnya.
Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang mudah buat Hamas. Melihat “sang pangeran” berdiri menantang dan menampilkan imej di masjid dan jalanan yang lain tentang Palestina, dan menentang statusnya. Masjid dan jalanan selalu menggambarkan perjuangan Hamas di Jalur Gaza, karena di dua tempat itulah Hamas dibesarkan. Dan sekarang, keduanya telah diambil alih oleh mereka.
Kedatangan Moussa di Palestina mengingatkan kita semua pada sejarah lama. Cara dan jalan yang sama kembali terbangun: bahwa menentang sebuah kekuatan baru yang moderat, mengabaikan stabilitas wilayah, dan meniadakan dialog, adalah opini yang akan membangun terhadap siapapun penentangnya adalah ekstremis sesungguhnya. Dan sangatlah jelas jika Hamas diposisikan dalam stigma tersebut.
Padahal, kenyataannya, Hamas menolak perbincangan apapun tentang eksistensi kelompok ini di Jalur Gaza. Hamas menyatakan bahwa Hamas adalah Hamas yang tengah berjuang menentang penjajahan di negerinya, dan kelompok Jihad Salafi atau siapapun itu bahkan Al Qaidah adalah mereka yang tak pernah ada di Palestina dan merecoki perjuangannya. Perjuangan Gaza adalah murni dari tetesan dan tumpah darah rakyat Palestina.
Dengan semakin menggelembungnya kekuatan-kekuatan baru yang menimpali kekuatan lama yang memang berbeda orientasi perjuangannya dengan Hamas, sekali lagi, Hamas berada dalam fenomena yangmengakawatirkan, karena semua itu menjadi erosi bagi semua perjuangan Gaza. Apalagi rekonsialisasi Fatah berjalan mulus—dengan kali ini melibatkan seorang Arab Yahudi dalam keanggotaannya. Hamas berdiri di atas tanah Gaza tapi kehilangan semua kekuatannya di depan musuh abadi mereka, karena bergerak pun—menentang rencana pembentukan dua Negara—diartikan sebagai ajakan perang kepada dunia.
Saat ini, mereka yang membela Hamas bisa dihitung dengan jari satu tangan. Artinya ada banyak harga mahal sehubungan isolasi, rekrontruksi dan dialog dengan musuh. Tak ada Negara Arab Timur Tengah yang benar-benar melibatkan diri secara sungguhan pada kasus Palestina. Tak ada lagi kartu AS yang bisa dipakai oleh Hamas.
Pertanyaan besarnya adalah: Apa lagi yang akan dilakukan Hamas di Gaza? Masihkah terus melakukan perjuangan atau mulai kompromi? Sementara Mahmoud Abbas—pemimpin Fatah yang kembali terpilih—tengah tersenyum membuka jubah kebesarannya menanti mana yang akan masuk kantong berikutnya, sambil menghitung dan menghitung umur dan kesabaran Hamas.
Tapi, Hamas bukan sebuah gerakan ‘kemarin sore’, yang mudah ditekuk oleh musuh-musuhnya. Bagaimana pun Hamas telah berperang dengan Israel, dan dapat menyelamatkan gerakannya. Sementara kekuatan lainnya, sekarang hanya menjadi pengekor Israel. Hamas masih menjadi harapan masa depan rakyat Palestina, yang menginginkan kemerdekaan, dan bukan Mahmud Abbas.(sa/alhayat)