Situasi keamanan di dalam negeri Palestina makin memprihatinkan. Dua peristiwa penembakan yang terjadi di Jalur Ghaza, Senin (5/6) menewaskan sejumlah warga sipil, di antaranya seorang wanita hamil.
Sumber-sumber di rumah sakit mengatakan, aksi penembakan yang dilakukan sekelompok laki-laki bersenjata di selatan Jalur Ghaza, menelan korban satu keluarga warga Palestina. Seorang wanita hamil dan salah seorang kerabatnya tewas, sementara saudara laki-laki dan suami wanita tadi mengalami luka-luka.
Saksi mata mengatakan, insiden itu diawali ketika penyerang yang bersenjata dan tidak jelas identitasnya menembaki seorang pemimpin Hamas, Muhammad al-Ghalban yang sedang dalam perjalananan dengan sebuah mobil bersama anggota keluarganya. Al-Ghalban dan saudara laki-lakinya mengalami luka parah dan kini sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Ghaza.
Belum diketahui apa motif penyerangan itu, namun sumber-sumber lokal Hamas menuding saingannya Fatah terlibat dalam aksi serangan tersebut. Seiring dengan makin meningkatnya ketegangan, Hamas mengerahkan pasukannya ke jalan-jalan.
Insiden lainnya kota Ghaza terjadi ketika terjadi baku tembak antara Hamas dan sekelompok orang bersenjata. Saksi mata mengatakan, akibat baku tembak itu tiga orang pejalan kaki tewas.
Sumber di rumah sakit Ghaza menyatakan, ketiga korban yang kesemuanya laki-laki itu tewas ketika dibawa ke rumah sakit.
Peristiwa tembak-menembak itu tidak jauh dari lokasi rumah PM Palestina Ismail Haniyahh. Jatuhnya korban di kalangan warga sipil itu, merupakan insiden yang kedua kalinya setelah tewasnya seorang aparat keamanan Palestina dan terlukanya 7 orang lainnya dalam pertikaian antara Hamas dan Fatah pada pekan kemarin.
Dua peristiwa penembakan itu telah mengganggu upaya damai yang telah dibicarakan antara Presiden Mahmud Abbas dan PM Haniyahh bulan Mei lalu.
Referendum dan Tuduhan ‘Kudeta Putih’
Di sisi lain Presiden Palestina Mahmud Abbas nampaknya tak kehabisan akal untuk terus menggerus posisi Hamas dari pemerintahan. Abbas yang sebelumnya disinyalir akan menjatuhkan Hamas dalam 3 bulan, Ahad (4/6) di Ramallah mengatakan akan menggelar referendum di Palestina.
Atas rencana itu, Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyah lebih lunak menolak referendum itu. “(Referéndum ) itu tak mengikat kami. Dan itu tak perlu,” ujar Haniyahh, seperti dikutip ArabOnline.
Lebih lanjut politisi Hamas itu menjelaskan, “Kita harus terus saling memahami, karena bangsa Palestina telah memberikan pendapatnya dalam Pemilu paling akhir itu, dan itu ungkapan keinginan demokrasi bebas paling baru. Tidak mudah terlibat dalam masalah-masalah ini dari awal lagi, tidak dalam tataran hukum tidak juga dalam tataran politik.”
Keterangan lainnya menyebutkan, Hamas tak akan ikut serta dalam pertemuan-pertemuan atas inisiatif komite untuk Dialog Nasional di Ramallah. Selain itu Hamas juga menekankan perlunya memindahkan Dialog itu ke Jalur Ghaza.
“Kami tak kan ikut serta dalam Dialog itu, yang berlangsung di Tepi Barat. Kami menuntut pemindahan Dialog itu ke Jalur Ghaza, atas pertimbangan keamanan dan karena delegasi kami tak dapat pergi ke Ramallah. Tapi sayang di sana tak ada respon atas tuntutan ini,” ujar Abu Zuhri, juru bicara Hamas.
Abu Zuhri juga menilai Dialog di Ramallah itu sebagai jalan untuk referendum, “memalukan dan kudeta putih.” Sementara itu sumber-sumber media Palestina mencium adanya seruan Pemilu legislatif dini, sebagai solusi atas kekisruhan politik yang melanda Palestina saat ini.
Ditambahkan sumber-sumber itu, dalam dua pekan ke depan akan menjadi hal krusial bagi kondisi Palestina, jika Hamas belum juga melakukan revisi-revisi atas platform politiknya, pimpinan Palestina akan terpaksa membubarkan Parlemen dan menggelar Pemilu dini.
Seperti diketahui bahwa pertemuan terakhir Komite Dialog itu digelar pada Sabtu (3/6), di Kediaman Presiden Palestina Mahmud Abbas di Ramallah, tanpa kehadiran delegasi dari Hamas.(ilyas/ln/aljz/aol)