Masih ada sejumlah ganjalan yang bisa menghambat pembentukan pemerintahan koalisi di Palestina. Dan masalah itu masih menanti penyelesaian dari pertemuan yang rencananya akan dilakukan antara Presiden Palestina Mahmud Abbas dan PM Palestina Ismail Haniyah sebagai tokoh tinggi Hamas.
Ganjalan yang paling besar disampaikan oleh Dr. Yahya Musa, anggota dewan perlemen fraksi Taghyir wal Ishlah yang menjadi fraksi Hamas. Ia mengatakan, “Kesepakatan Makkah menetapkan Hamas berhak mengajukan tiga calon menteri independen sedangkan Fatah mengajukan dua calon. Kami melihat Fatah ingin juga mengambil tokoh yang diajukannya untuk mengisi kursi Menteri Luar Negeri dari calon independen adalah Dr. Ziyad Abu Amr, padahal Ziyad Abu Amr adalah sudah dicalonkan oleh Hamas. ”
Karena itu, menurut sejumlah sumber yang diperoleh Islamonline, Hamas sepertinya berencana akan mengajukan nama lain untuk dicalonkan menjabat kursi menteri luar negeri. Pemerintahan mendatang terdiri dari 24 kursi cabinet, termasuk sembilan kursi dari Hamas, enam dari Fatah, lima dari kalangan independen. Sedangkan sisanya dari elemen lain yang terwakili di Parlemen.
Masalah yang masih mengganjal lainnya adalah masalah penentuan menteri dalam negeri. Dalam kesepakatan Makkah, Hamas berhak juga mengajukan calon independen untuk kedudukan itu yang nanti akan diratifikasi oleh Presiden Palestina Abbas. Masalahnya adalah, Abbas hingga kini belum memberi restu atas calon yang diajukan Hamas untuk Menteri Dalam Negeri.
Hamas mengajukan Nashir Mushlih (45) dari Bureij yang dahulunya adalah orang Fatah namun belakangan diketahui dekat dengan Hamas. Mushlih adalah imam masjid sukarela di sana, dan memperoleh gelar Magister di bidang pengelolaan keuangan. Mushlih ditangkap Israel tahun 1979 terkait keterlibatannya dalam aktifitas dalam organisasi Fatah dan divonis hukuman 20 tahun, lalu ditambah menjadi hukuman seumur hidup setelah ia dituduh melakukan upaya pembunuhan agen Israel di dalam penjara.
Saat dibebaskan dari penjara karena termasuk daftar pertukaran tawanan di tahun 1985, Mushlih memilih tinggal di Yordania. Dan di negeri itulah ia mulai intensif berkomunikasi dengan para pimpinan Hamas. Pasca penandatanganan kesepakatan Oslo tahun 1993, Mushlih datang di Ghaza dan bekerja di bidang keuangan di bawah sayap pengamananan polisi Palestina. Mungkin karena kedekatannya dengan Hamas, hingga kini, nama Mushlih belum mendapat persetujuan dari Abbas yang juga pimpinan tinggi Fatah. (na-str/iol)