Minggu ini, sebuah stasiun televisi di Israel akan menayangkan sebuah film dokumenter yang menampilkan cerita tentang trauma enam mantan prajurit perempuan Israel karena menyaksikan atau terlibat dalam penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan militer Israel terhadap rakyat Palestina.
Dalam film tersebut, salah seorang mantan prajurit sengaja berfoto-foto sambil menggosok-gosok mayat seorang warga Palestina. Prajurit lainnya, menelanjangi seorang laki-laki Palestina kemudian memukuli laki-laki itu. Seorang prajurit lagi menolong rekan-rekannya yang sedang menyiksa seorang remaja Palestina.
Film berjudul "To See If I’m Smiling" sengaja memberikan kesempatan bagi enam perempuan mantan prajurit Israel itu untuk mengungkapkan kenangan-kenangan yang tak kan pernah hilang, saat menjalankan kewajibannya sebagai prajurit militer.
Setelah bertahun-tahun mengubur pengalaman masa lalu yang buruk, mereka akhirnya mau bicara dalam film yang membeberkan sisi gelap selama 40 tahun Israel menjajah bangsa Palestina. Para mantan prajurit itu juga mengungkapkan apa dampak dari perlakukan buruk Israel itu dari generasi ke generasi, baik baik laki-laki maupun perempuan.
"Sangat mudah untuk menyelesaikan tugas kemiliteran dan mencoba untuk tidak memikirkannya lagi. Tapi perempuan-perempuan ini menceritakan pengalaman pribadi mereka-yang tidak selalu indah-untuk menunjukkan pada semua orang apa yang sedang terjadi, " kata Tamar Yarom, sutrada film "To See If I’m Smiling."
Semua mantan prajurit kecuali satu orang, yang tampil dalam film tersebut, terpaksa bertugas sebagai tentara karena aturan wajib militer yang berlaku di Israel. Mereka bertugas pada saat meletusnya gerakan Intifadah tahun 2000. Mereka menceritakan bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan situasi kemiliteran yang keras.
Seorang perempuan yang bertugas sebagai paramedis mengungkapkan, dia bertugas menggosok mayat-mayat warga Palestina untuk menyembunyikan bekas-bekas penyiksaan tentara Israel. "Saya pikir saya akan bisa melupakan semua itu, tapi tidak bisa, " tuturnya sambil mengusap air matanya.
Lewat film ini, sang sutradara, Tamar Yarom berharap Israel-negara di mana militer menjadi inti identitas nasionalnya-mau melakukan pencarian jati diri dan mendorong prajurit-prajurit Israel lainnya yang mengalami trauma untuk berani bicara tentang tindak kekerasan yang mereka lakukan atau pernah mereka saksikan.
"Negara ini sedang dalam kondisi koma. Dengan semua serangan dan bom, kita mati rasa, " kata Yarom.
"Orang-orang berpikir bahwa kita sedang perang untuk bertahan hidup, dan akan lebih baik jika tidak mengkritik para prajurit karena merekalah yang melindungi kita, " sambungnya.
Yarom berharap filmnya akan memicu daya kritis baik dari kelompok kiri-yang selama ini bersimpati pada para prajurit Israel, maupun kelompok kanan-kelompok yang kerap mengecap militer Israel.
Menurut Yarom, pengalaman pribadinya lah yang mendorongnya membuat film, yang diperkirakan akan menjadi kontroversi itu. Yarom pernah bertugas sebagai prajurit cadangan saat pecah pertikaian Israel-Palestina tahun 1980-an. Dia melihat seorang warga Palestina yang menjadi korban penyiksaan militer Israel, tapi ia tidak bisa berbuat sesuatu. Selama hampir dua dekade Yarom masih tidak mampu menghapus kenangan buruk itu. Ia masih ingat dengan jelas wajah korban yang berlumuran darah, dengan leher terkulai.
"Gambar seperti ini akan melekat pada diri Anda selamanya. Selama masa tugas saya, saya melepaskan diri sendiri dari bayangan itu. Dan ketika Anda teringat lagi, rasanya sangat sakit, " tukas Yarom. (ln/al-arby)