INSS menerbitkannya dalam sebuah makalah kebijakan “gaya tidak proporsional: konsep respons Israel mengingat perang Lebanon kedua.”
Kebijakan itu menekankan bahwa dalam konflik dengan Hamas, tentara Israel harus menggunakan kekuatan yang tidak proporsional dengan tindakan musuh dan ancaman yang dimilikinya.
Tindakan Israel di Gaza kini sangat mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut saat ini sedang dijalankan oleh pasukan Israel. Pesawat tempur Israel telah sepenuhnya menghancurkan beberapa blok menara sipil di Gaza, dan serangan udara berlanjut membuat lebih dari 100 warga Palestina, termasuk 17 anak, terbunuh.
Hal itu tampak jelas bukan kecelakaan, tetapi bagian dari strategi Israel, yang bertujuan untuk menanamkan rasa takut pada warga sipil yang berdiri di negara Zionis. “Israel harus merespons secara tidak proporsional untuk membuatnya sangat jelas bahwa negara Israel tidak akan menerima upaya untuk mengganggu ketenangan yang saat ini berlaku pada sepanjang perbatasannya,” kata INSS.
Seorang jenderal senior Israel, Gadi Eisenkot, berbicara dengan pers Israel pada 2008 yang mengatakan bahwa doktrin Dahiya bukan saran, melainkan rencana yang telah disahkan. Pada 2006, kepala Jenderal Angkatan Darat Dan Halutz membual bahwa militer akan menargetkan infrastruktur sipil di Lebanon dengan tujuan untuk memutar kembali jam di Lebanon seperti 20 tahun silam.
Israel menanamkan kebijakan seperti itu selama serangan terhadap Gaza pada 2008-2009, yang menewaskan lebih dari 1.400 warga Palestina. PBB menugaskan misi pencarian fakta yang dikenal sebagai Report Goldstone, yang menyimpulkan bahwa strategi Israel dirancang untuk menghukum, mempermalukan, dan meneror penduduk sipil.
Profesor Hukum Internasional Richard Falk telah menggambarkan doktrin Dahiya Israel tidak hanya pelanggaran atas norma-norma paling dasar dari hukum perang dan moralitas universal, tetapi pengakuan doktrin kekerasan yang perlu disebut dengan nama yang tepat: terorisme negara. []