Hari itu, 27 Desember 2008, Dr. Ehab Jasir al-Shaer, bersama adik, paman, dan kedua keponakannya, pergi ke gedung administrasi lokal di Rafah, sebelah selatan Jalur Gaza. Mereka sendiri adalah warga Gaza dan sudah lama menetap di sana. Mereka berangkat pukul 10.00 pagi dan dengan rona wajah yang gembira. Jasir al-Shaer, 60, ayahanda dr. Ehab melepas kepergian anak, adik dan cucunya dengan perasaan biasa saja.
“Saya mengiringi kepergian mereka sambil duduk di sofa teras rumah." ujar Jasir, "Sekitar pukul 11.30, kami semua mendengar ledakan yang dahsyat di mana-mana. Saya seketika langsung berdiri, memburu gedung yang dituju anak saya. Di sana, di antara mayat-mayat yang bergelimpangan, saya menemukan mayat Ehab, adik dan cucu-cucu saya.”
Nancy Jouda, istri Dr. Ehab menambahkan dengan air mata yang berurai. “Suami saya selalu tersenyum kapan saja. Dia suami yang sangat ceria dan penuh perhatian. Itu yang saya ketahui sejak kami menikan tiga tahun lalu.”
“Yang membuat saya sangat terpukul,” ujar Nancy yang tengah mengandung , “bayi kami yang akan dilahirkan tak akan pernah melihat ayahnya.” Nancy sekarang menjadi janda dan ibu dari dua orang anak yang masih sangat kecil yang sudah kehilangan ayahnya.
Keluarga Jasir al-Shaer sudah menjadi pengungsi sejak tahun 1948 ketika mereka secara paksa diusir dari desa mereka, Karatiya—salah satu dari 450 desa milik warga Palestina yang sudah direbut oleh Israel.
Para pasien Dr. Ehab sangat sedih mendengar kematian Dr. Ehab., “Saya meneleponnya untuk sebuah pertemuan. Yang menerima telepon bukan Dr. Ehab, tapi saudaranya,” kenang Shirin, salah satu pasien Dr. Ehab. “Saya menangis tanpa henti.”
Dr. Ehab pertama kali membuka klinik di alun-alun kota Rafah pada tahun 2006 dan membuka praktik dermatologi. Hanya satu tahun, reputasinya sudah tersohor kemana-mana, sebagai dokter muda muslim yang penuh dedikasi. Dia pun membuka cabang kliniknya di kamp pengungsian Nuseirat di pusat kota Gaza. Dan ia melakukan itu tanpa mengharapkan bayaran materi. Jika tengah berpraktik, pasien berdatangan dari segala penjuru.
Sekarang klinik Dr. Ehab tak lagi beroperasi, membisu di antara tumpukan puing dan reruntuhan agresi Israel. Tak ada lagi pasien yang datang, tak ada lagi operasi bedah, tak ada lagi resep, dan tak ada lagi Dr. Ehab yang selalu tersenyum. (sa/imemc)