Derita Warga Palestina di Penjara Israel, Tahanan Disiksa Bahkan Dibunuh

Seorang tahanan Palestina ditemukan telah meninggal kemarin pagi, Rabu (26/04), di penjara Zionis Israel. Sementara itu seorang bocah perempuan berusia 3 tahun meninggal di salah satu pos penahanan Israel setelah mendapatkan pukulan keras dari serdadu Israel, saat korban dalam perjalanan mengunjungi ayahnya di penjara padang pasir Israel, Nafha.

Menteri Urusan Tahanan Palestina Washfi Kabha menegaskan, korban yang meninggal di penjara Israel Hesharon kemarin pagi adalah Sulaiman Muhammad Mahmud Duraija, 23 tahun, asal kota Thaiba, Tepi Barat.

Ia mengatakan, korban mengalami demam pada tengah malam. Namun dokter penjara tidak mau memberikan pengobatan yang dibutuhkan, sesaat kemudian korban meninggal akibat tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan. Kabha menuduh pihak penjara sengaja melakukan siasat seperti ini dan menempatkan ribuan tahanan Palestina, khususnya yang sedang sakit, dalam bahaya akibat tidak mendapatkan pelayanan medis yang semestinya dan secepatnya.

Organisasi Anshar al-Sijjin (sebuah lembaga pembelaan terhadap para tahanan) langsung melayangkan pengaduan ke pihak otoritas umum penjara Israel dan ke pengadilan pusat di Tel Aviv, mereka meminta pembentukan Tim Pencari Fakta guna mengetahui sebab-sebab kematian korban dan memberikan sanksi pihak yang berwenang atas kelalaian yang disengaja dan dilakukan secara nyata ini.

Sementara itu Asosiasi Tahanan Palestina menyatakan, rejim penjajah Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian tahanan Palestina ini. Asosiasi menuduh pihak otoritas penjara sengaja tidak memberikan pengobatan kepada korban yang tengah menderita sakit dan demam sejak beberapa waktu sebelumnya hingga kondisinya semakin kritis menjelang tengah malam.

Asosiasi mengingatkan, bila siasat semacam ini terus dilanjutkan tidak menutup kemungkinan akan bertambah korban berjatuhan dari tahanan yang sedang sakit. Untuk itu, pihaknya meminta lembaga-lembaga internasional, lembaga HAM dan Komite Palang Merah Internasional untuk membentuk Tim Pencari Fakta guna mengungkap kematian tahanan Palestina yang diakibatkan oleh kesengajaan pihak penjara Israel karena tidak memberikan pertolongan medis yang semestinya.

Sulaiman Duraija ditangkap pihak penjajah Zionis Israel pada 4 Desember 2001 dengan tuduhan menjadi anggota gerakan Fatah dan divonis hukuman 7 setengah tahun penjara. Sebagian besar masa tahanannya dihabiskan di penjara Israel Geliwa sampai akhirnya dipindahkan ke penjara Hesharon, setahun yang lalu, bersama sejumlah tahanan Palestina dari wilayah Palestina yang terjajah sejak 1948. Duraija dimasukan dalam sel isolasi jauh dari tahanan Palestina dan Arab lainnya.

Terkait dengan praktek pembunuhan semacam ini, Departemen Urusan Tahanan Palestina menuduh militer penjajah Israel telah mengeksekusi 5 orang warga Palestina setelah ditangkap sejak awal tahun 2006 ini. Jumlah tahanan Palestina yang meningal akibat pembunuhan semacam ini, sejak meletus intifadhah al-Aqsha (September 2000), mencapai 74 orang.

Dalam laporan Departeman Urusan Tahanan Palestina disebutkan, saat ini lebih dari 9600 tahanan Palestina mendekam di dalam penjara-penjara Zionis Israel. Mereka hidup dalam kondisi sangat tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebutuhan hidup yang paling minimal sekalipun, tidak mendapatkan pelayanan medis yang semestinya, tidak boleh dikunjungi kerabat dan keluarga, dikenakan denda yang sangat besar, harus menjalani pemeriksaan telanjang, dan ratusan dari mereka ditempatkan dalam sel isolasi.

Direktur Informasi Departemen Urusan Tahanan Palestina, Riyadh al-Asyqar menegaskan pihak penjajah Zionis Israel belakangan ini meningkatkan siasat eksekusi para tahanan dengan mudahnya setelah korban ditangkap.

Sejak awal Januari 2006 pasukan Israel telah membunuh 5 orang warga setelah ditangkap hidup-hidup. Peristiwa terakhir menimpa warga Daniyal Abu Hamama, 25 tahun, bersama temannya Ahmad Muslih yang dibunuh segera setelah ditangkap di Bethlehem beberapa hari yang lalu oleh pasukan khusus penjajah Zionis Israel.

Laporan Departemen Urusan Tahanan Palestina mengisyaratkan, selama intifadhah al-Aqsha pihak rezim penjajah Zionis Israel meningkatkan eksekusi tahanan setelah ditangkap dengan dalih mereka adalah bom waktu dan menjadi ancaman bagi serdadu Israel.

Sejak intifadhah al-Aqsha lebih dari 53 orang dibunuh setelah mereka ditangkap. Pembunuhan itu terjadi terkadang dengan cara melarang mobil ambulans mengevakuasi dan memberikan pertolongan medis kepada korban yang terluka saat terjadi penangkapan dan meninggalkan korban tergeletak hingga mati. Terkadang pasukan Israel sengaja menembak korban yang menjadi target penangkapan padahal bisa menangkapnya dengan sangat mudah. Militer dan pasukan khusus Israel tahu bahwa korban tidak bersenjata dan tidak akan melawan bila ditangkap, juga tidak membayakan serdadu. Setelah korban terbunuh, mereka mengatakan korban berupaya melarikan diri dan menyerang pasukan.

Israel Lakukan Penangkapan Ilegal

Menteri Urusan Tahanan Palestina Washfi Kabha mengatakan, penjajah Zionis Israel menggunakan berbagai macam cara tidak sah dan bertentangan dengan konvensi internasional dalam menangkap warga Palestina. Mereka tidak membedakan antara anak-anak, wanita dan orang tua. Semuanya menjadi sasaran saat melakukan aksi penangkapan dengan menggunakan pasukan dalam jumlah besar yang melibatkan militer, polisi dan pasukan khusus.

Mereka mengepung rumah dari berbagai penjuru, kemudian menghancurkan pintu dan menyerbu rumah dengan cara kasar, memeriksa semua isi rumah dan mengobrak-abrik seluruh perabotan. Kadang-kadang mereka melapaskan tembakan saat melakukan penyerbuan ke rumah-rumah warga dan mengeluarkan semua orang di tempat terbuka tanpa mengindahkan kondisi hujan maupun cuaca yang sangat dingin.

Kabha menambahkan, aksi-aksi penyerbuan itu tidak luput dari pemeriksaan lapangan terhadap anggota keluarga korban dan serangan terhadap mereka berupa pemukulan dan umpatan. Pada akhir penyerbuan, mereka menangkap korban yang diinginkan, dengan cara biadab dan diborgol dengan cara mengikat mereka dengan tali plastik yang sangat kuat, menutup kedua mata korban kemudian menyeretnya keluar dimasukkan ke dalam jeep militer.

Pada umumnya korban mengalami penyiksaan tidak manusiawi baik fisik maupun non fisik sampai mereka tiba di pos penahanan dan interogasi yang ada tersebar di penjuru Tepi Barat dan wilayah Israel. Kabha menegaskan, di pos interogasi ini biasanya korban mengalami berbagai macam penyiksaan untuk mengorek keterangan. Seperti diikat di kursi kecil untuk anak-anak, dipukul, ditendang, diinjak, diletakan plastik sampah di kepalanya, tidak boleh tidur, dimasukan dalam kulkas dan diisolasi dalam sel yang sangat sempit.

Kabha menjelaskan, penjajah Israel biasa melakukan penangkapan di pos-pos perlintasan militer (check point) yang tersebar banyak di Tepi Barat, menangkap korban dari sekolah-sekolah, kampus-kampus, instansi-instansi dan departemen pemerintah Palestina. Tidak ada larangan bagi pasukan Israel menculik orang-orang Palestina di jalan-jalan dengan mengenakan pakaian warga sipil Palestina. Tak jarang mereka melakukan penangkapan dari mobil-mobil ambulans yang membawa korban luka ke rumah sakit serta memperlakukan mereka dengan kasar dan tidak manusiawi, dengan tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan korban.

Untuk itu, Departemen Urusan Tahanan Palestina menyerukan lembaga-lembaga HAM internasional untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan melampaui batas yang dilakukan pasukan penjajah Israel terhadap rakyat Palestina. Pihaknya meminta para serdadu pembunuh yang menembak korban dengan darah dingin diadili sebagai penjahat perang, demikian juga para komandan dan petinggi militer penjajah Israel yang mengeluarkan perintah untuk para serdadu tersebut.

Kasus Bocah Berumur 3 Tahun

Di pihak lain, seorang bocah perempuan bernama Rafida Tsaira Badr, 3 tahun, asal desa Beit Laqiya di barat kota Ramallah, Rabu (26/04/) pagi meninggal setelah mendapatkan pukulan keras dari serdadu Israel, saat korban mengunjungi ayahnya yang ditahan Israel di penjara Nafha, Ahad (23/04).

Sumber lokal di Beit Laqiya mengatakan, hari Ahad lalu korban dalam perjalanan menjenguk ayahnya ditemani bibinya dan mendapat pukulan di pintu gerbang perlintasan militer Israel Muwadi’in. Korban dilarikan ke rumah sakit Tel Heshomeir dan meninggal kemarin pagi.

Sumber-sumber Palestina menyebutkan, ayah korban, Tsair Muhammad Badr, 30 tahun, hari itu juga mengajukan pemindahan dirinya dari penjara Nafha ke penjara al-Ramleh agar dapat menjenguk putrinya di rumah sakit. Namun permohonan itu belum dikabulkan pihak penjara Israel. Tsair ditangkap 8 bulan lalu dan hingga kini belum ada proses hukum maupun tuduhan yang didakwakan kepadanya. (was/alquds al’arabi)