Eramuslim – Setelah diskusi panjang dikalangan internal, akhirnya Kamis 4 Mei 2017 Hamas resmi menerbitkan dokumen politiknya sebagai tuntunan organisasi di masa mendatang. Tidak hanya kali ini saja, bahkan setahun setelah Hamas didirikan pada 1987, gerakan ini juga sudah memiliki piagam yang merupakan visi gerakan-gerakan Islam terhadap Palestina.
Piagam ini menjadi cerminan falsafah Hamas dan visinya di masa depan, meski tidak diterbitkan resmi dari “lembaga legislatif” dan hanya berasal dari internal Hamas. Piagam tegas namun jargonnya yang tidak detil itu menjadi acuan pihak manapun untuk memahami Hamas. Akibatnya, banyak yang menilai ada kontradiksi antara sikap politik Hamas yang disampaikan melalui stamen dan keterangan pers resminya, seperti keberadaan Hamas sebagai sayap militer Ikhwanul Muslimin dan memerangi Yahudi.
Sejak itulah Hamas harus berfikir melakukan revisi piagamnya menjadi dokumen yang menjelaskan identitas resmi yang menjadi pijakan setelah menjalani pengalaman politiknya dalam 3 dekade terakhir.
Menanggapi hal tersebut, kolumnis Palestina, Usamah Asyqar, berkomentar mengatakan bahwa Hamas kali ini telaj memilih kata yang tepat yaitu “dokumen” bukan piagam. Sebab piagam bersisi pengertian perjanjian dengan orang lain dan berisi komitmen menepatinya terhadap mereka. Sementara dokumen dia hanya menjelaskan sikap dan kebijakan pihak yang menerbitkannya terhadap persoalan, tanpa terkait dengan pihak lain.
Dokumen Hamas kali ini ringkas namun juga teliti dan sistematis serta tampak sudah melalui evaluasi secara legalitas syariah, politik, Bahasa dan hukum.
Konten dokumen paling menjadi perhatian dan menimbulkan polemik adalah sisi politiknya, dimana Hamas mengisyaratkan bahwa pendirian negara Palestina di atas wilayah jajahan 1967 adalah formula nasional yang disepakati bersama, akan tetapi menegaskan bahwa itu tidak berarti mengakui entitas zionis penjajah atau kompromi dari sebagian hak-hak bangsa Palestina.
Usamah Asyqar melanjutkan, “Formula itu dialamatkan kepada Fatah dan PLO yang mewajibkan dirinya dalam jaringan kesepakatan internasional yang ingin menggolkan proyek negara Palestina di wilayah jajahan 1967. Seakan Hamas ingin mengajak Fatah dan lainnya untuk mengusung proyek perlawanan di atas landasan tersebut. Namun Hamas memberikan catat jelas bahwa Israel tidak memiliki eksistensi di Palestina, meski hanya di atas sejengkal tanahnya. Hamas tegaskan bahwa Deklarasi Balfour sebagai awal mula konsep landasan berdirinya Israel tidak memiliki eksistensi geografis politis di mata Hamas. Deklarasi Balfour ini dinilai tidak memiliki arti dan nilai, termasuk rangkaian kejadian yang timbul setelah itu.”
Dengan sikap setuju dengan negara Palestina di atas jajahan 1967, Hamas tidak berarti akan berkompromi. Sikap ini hanya taktik, ujar Usamah Asyqar.
Hamas menyatakan dirinya adalah proyek Palestina Arab Islam dalam menghadapi proyek zionis sampai negara zionis (Israel) ini hilang. Bagi Hamas, meski penjajahan mungkin berlangsung lama, tetap tak ada alternatif selain membebaskan Palestina sepenuhnya, dari perbatasan sungainya (sungai Yordania) sampai perbatasan lautnya (Meditrania). Selain itu, Hamas menolak seluruh hasil kesepakatan proyek penyelesaian damai yang bertujuan menghabisi isu Palestina atau mencederai hak-hak bangsa Palestina.
Untuk membuka ruang politik yang harmonis dengan situasi politik Arab dan dunia internasional, Hamas menyatakan bahwa Islam yang diyakini Hamas adalah moderat dan berbeda dengan yang diyakini sebagian kelompok lain yang dianggap ekstrim. Penegasan Hamas ini diyakini akan mengurangi tekanan politik dari luar. Namun Hamas tetap berkeyakinan bahwa perlawanan menghadapi penjajah tidak bisa dilepaskan dari perlawanan dalam bentuk senjata. Selama itu dibutuhkan bahkan hal itu diyakini sebagai satu-satunya melawan dan mengusir penjajah.
Apakah Ini Awal Mula Hamas Akan Berunding dengan Israel?
Tahun 2006, Hamas pernah menekan kesepajatan Piagam Tawanan yang kemudian berubah menjadi piagam kesepakatan nasional Palestina. Di fase selanjutnya, piagam ini menjadi landasan untuk berbagai dialog dan kesepakatan Palestina, termasuk dialog di Kairo. Hamas sebenarnya, sejak 11 tahun lalu sudah setujui dengan berdirinya negara Palestina merdeka di dalam perbatasan 1967.
Meski Hamas tegas dalam hal prinsip sebagai gerakan perlawanan Islam, Hamas tetap adalah bagian dari bangsa Arab dan Islam.
Menurut pengamat Athef Gulani, dengan dokumen ini, Hamas sebenarnya lebih kepada mendiagnosa realita kinerjanya dan perilaku politiknya, mendefinisikan narasi politik dan medianya, daripada mendeklarasikan fase yang akan datang dan perubahan sikap politiknya. Dengan kata lain, Hamas ingin menerjemahkan pengalaman politiknya, perilaku, narasi politik dan medianya selama ini dalam bentuk pemikiran dan etika politik.
Dari sisi waktu, Hamas saat ini sedang posisi tenang tanpa tekanan siapapun. Sehingga dokumen ini terbit dalam masa dimana tak ada syarat-syarat yang ditetapkan oleh pihak manapun untuk melakukan deal-deal apapun. Dalam kondisi seperti itu, Hamas menyatakan diri siap bersikap lentur dan fleksibel.
Bahkan, saat ini secara militer, Hamas dalam kondisi lebih kuat dibanding sebelumnya.
Apa sikap Hamas ini menjadi persiapan bahwa gerakan ini akan berubah seperti halnya Fatah? Ketika menjadi organisasi perlawanan bersenjata hanya untuk bargaining dan berunding dengan Israel? kemudian mereka meralat prinsip-prinsip dasarnya dan tunduk kepada syarat-syarat tim kuwartet internasional? Benarkah?
Athef melihat, realita di lapangan membuktikan, Hamas menghadapi blokade dari Israel, regional dan internasional yang bertujuan agar sikapnya berubah dan mau mengakui eksistensi penjajah Israel dan syarat tim kuartet. Blokade dan tekanan itu berlangsung selama 10 tahun lebih. Dalam dokumen terbaru, Hamas tetap pada sikapnya meski tidak mengakui Israel. Hamas tetap menyatakan tidak akan meninggalkan pilihan perlawanan dengan berbagai bentuknya. Jadi, dokumen ini membantah kecurigaan orang yang menyatakan bahwa ini awal Hamas berdansa secara malu-malu. (Pip/Ram)