Bila Tidak Ada Bantuan, Ekonomi Palestina Runtuh dalam Beberapa Bulan

kabinet haneyaEkonomi di tanah Palestina dalam beberapa bulan terancam runtuh, bila pemerintah negara-negara Arab tidak turun tangan mencegah membesarnya krisis keuangan yang terus mencekik pemerintah Palestina. Demikian ditegaskan Menteri Keuangan Palestina Umar Abdul Raziq (38 tahun) dalam wawancara dengan kantor berita Reuters, Jum’at (14/04/06).

Abdul Raziq mengatakan, “Pemerintah Palestina menghadapi kesulitan keuangan sangat berbahaya setelah dua pekan saja menerima tampuk kekuasaan.” Dia menjelaskan masalah yang dihadapi pemerintah bukan pada jumlah utang namun kondisi keuangan pemerintah, ketidakberdayaan mendapatkan bantuan utang dan ketidakmampuan bersandar kepada sumber pendapatan khusus.

Utusan Tetap Palestina di Liga Arab, Muhammad Shabih, juga menegaskan bahwa pemerintah baru Palestina sampai detik ini belum menerima uang sepeserpun sejak menerima kendali pemerintahan.
Untuk itu, Menkeu Palestina memprediksi keruntuhan ekonomi Palestina akan terjadi dalam tiga atau empat bulan mendatang, apabila kondisinya tetap memburuk. Dia mengungkapkan bahwa satu-satunya jalan bagi orang-orang Palestina keluar dari masalah ini adalah dunia Arab.

Abdul Raziq berharap negara-negara Arab bisa membantu pembayaran gaji pegawai. Pemerintah Palestina yang saat ini menghadapi kesulitan untuk mengadakan anggaran gaji bagi 140 ribu pegawai pemerintah, ditambah dengan hutang pemerintah mencapai 1,3 milyar dolar yang diwariskan oleh pemeritahan lama yang dipimpin gerakan Fatah kepada pemerintahan baru yang dipimpin gerakan Hamas.

Abdul Raziq mengecam negara-negara Barat yang menghentikan bantuan utang kepada Palestina. Dia menegaskan siasat “pelaparan” terhadap orang-orang Palestina tidak akan bisa menciptakan perdamaian, namun justru akan memunculkan perlawanan lebih besar.

Uni Eropa, Amerika dan sejumlah negara Barat lainnya telah menyatakan penghentian bantuan utang kepada pemerintah Palestina sebagai upaya tekanan mereka untuk mendorong pemerintahan yang dipimpin Hamas ini mengakui entitas negara Zionis Israel, menghentikan perlawanan terhadap penjajah Israel serta menerima apa yang mereka sebut “kesepakatan-kesepakatan damai” yang ditandatangani pemerintah Palestina sebelumnya dengan penjajah Israel.

Namun Hamas menolak tunduk kepada tuntutan Barat tersebut. Hamas mengatakan, entitas Zionis Israel harus mengakui hak-hak Palestina dan mengakhiri pendudukan mereka di atas tanah Palestina.
Sejak Hamas menang dalam pemilu legislatif Palestina pada 25 Januari 2006 lalu, Zionis Israel membekukan pembayaran pajak yang mereka tarik dari warga Palestina untuk disetor kepada pemerintah Palestina.

Abdul Raziq mengatakan pihaknya kini tengah mengkaji upaya-upaya hukum. “Tim hukum Palestina tengah mengkaji kemungkinan mengajukan tuntutan atas pemerintah Zionis Israel di hadapan mahkamah tinggi Israel atau mahkamah internasional atas pembekuan transfer pajak dan cukai sebesar 55 juta dolar setiap bulan yang seharusnya dibayar kepada pemerintah Palestina,” ungkap ahli ekonomi jebolan Amerika ini.

Abdul Raziq mengisyaratkan bahwa sebagian negara Arab telah menegaskan akan memberikan dukungan dana kepada pemerintahan Hamas. Namun para petinggi gerakan Hamas mengkhawatirkan negara-negara Arab mendapatkan tekanan dari Amerika untuk tidak mencairkan dana bantuannya.

Gerakan Hamas bahkan melihat pemerintah negara-negara Arab nampak sangat lamban dalam merespon masalah ini. Untuk itu, sebagai alternatif solusi sementara, gerakan Hamas dengan terpaksa menggalang pengumpulan dana dari masyarakat Arab melaui internet dan stasiun televisi, sebagai upaya “menggagalkan rencana-rencana Zionis Israel”. Demikian disebutkan dalam situs resmi gerakan Hamas.

Namun demikian upaya-upaya resmi tetap terus dilakukan pemerintahan Hamas. Hari Sabtu (15/04/06) ini Menteri Luar Negeri Palestina Mahmud Zihar akan mulai melakukan kunjungan luar negeri ke sejumlah negara Arab dan dunia Islam guna menggalang dukungan, khususnya masalah keuangan. Mesir akan menjadi tujuan pertama dan disusul Yordania, Libanon, Suriah dan sejumlah negara Teluk lainnya. Sumber aljazeera menyebutkan tidak menutup kemungkinan Zihar melanjutkan kunjungan ke Malaysia dan Indonesia. (was/aljzr-imol)