Tema tertawannya serdadu Israel, kopral Ghilad, oleh pejuang Palestina masih sangat hangat dibicarakan media massa Timur Tengah. Palestine Information Center menuliskan berita tentang surat seorang anak Palestina kepadaSekjen PBB Kofi Annan, kepada Uni Eropa dan dunia.
Ia meminta agar dunia memberi kesempatan untuk orang Palestina bertemu kembali dengan sanak keluarga mereka yang ada di penjara Israel. Surat itu disebutkan, tertulis dengan linangan air mata hingga titik terakhir kalimatnya.
Sebuah konferensi pers diselenggarakan oleh sekumpulan anak-anak Palestina. Umumnya keluarga mereka menjadi tawanan Israel dan mendapat vonis hukuman seumur hidup. Dalam konferensi pers ini mereka menyatakan akan mengirimkan sejumlah surat kepada PBB, pimpinan negara dunia, negara Arab dan Islam, juga kepada ibunda serdadu kopral Ghilad, yang ditawan pejuang Palestina. Isinya, antara lain mereka mengatakan, “Kami di sini berteriak sejak bertahun tahun silam. Tak ada yang mau mendengarkan kami. Tak ada yang mau mendengarkan dan menyelamatkan kehidupan kami. Tak ada yang menjawab teriakan kami. Berilah kami waktu satu menit saja dari waktu kalian, untuk mendengarkan suara kami, anak-anak. Kami inginkan ayah kami… kami tidak ingin makanan.. kami tidak ingin susu.. tapi kami ingin bantuan untuk bisa merasakan hidup sebagaimana anak-anak lain di dunia ini… “
Kalimat-kalimat ini dibacakan dengan linangan seorang anak laki bernama Anshar. Ayahnya bernama Yusuf Bayudh. ditawan Israel. Di hadapan kamera pers ia mengatakan, “Tuan Kofi Annan. Berikan kami harapan… Kami ingin memeluk ayah kami meski hanya satu kali saja sebelum ia wafat, atau sebelum kami wafat.” Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Anshar. Tapi kisah Anshar dan sang ayah, juga ratusan bahkan ribuan anak-anak Palestina yang lain, belum berakhir.
Seorang anak lainnya, bernama Jauda Abu Shalbak, berbicara dalam bahasa Inggris kepada masyarakat dunia, untuk mengetuk nurani mereka. Ia menyampaikan aspek kemanusiaan, tanpa unsur politik apalagi peperangan. Ia bercerita tentang penderitaan orang tuanya, dan pamannya yang dipenjara oleh Israel dan divonis hukuman seumur hidup. “Tidakkah kalian melihat anak-anak Ghaza? Tidakkah kalian melihat kami tetap berdiri dalam kondisi lapar? Kami serukan kepada kalian dengan bahasa apapun yang bisa mengetuk nurani kemanusiaan tanpa batas. Bahwa…kami di sini mati.. kami di sini mati.. dan mati…”
Anak lainnya bernama Hadeil Abu Hamed, mengatakan tidak bisa bertemu dengan enam orang pamannya. Mereka adalah Nasher, Nashr, Syarif, Islam, Muhammad dan Basil. Semuanya dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Israel. Ada satu orang lagi kerabat Hadeil, bernama Abdul Munim Abu Hamid, yang telah gugur syahid beberapa waktu lalu di penjara Israel. Ia berteriak, “Kami merindukan kalian.. Oh andaikan kalian ada bersama kami, kalian pasti akan melihat raport pelajaran kami yang bagus dan kalian pasti akan memberi kami hadiah..”
Sementara seorang anak Palestina bernama Iman Abu Shalbak, menyampaikan pesan kepda ibunda serdadu Zionis yang kini ditawan pejuang Palestina. “Sepuluh ribu tawanan Palestina terkurung dalam siksaan penjara kalian. Kalian telah membakar masa muda mereka, cita-cita mereka, tapi tidak pernah bisa membakar obsesi mereka. Tidakkah ibu merasakan kepedihan perpisahan kami yang telah puluhan tahun berpisah dengan mereka, sedangkan ibu hanya beberapa hari saja berpisah dengan Ghilad. Teruskan dan lanjutkan tekanan yang ibu lakukan kepada Israel agar menyudahi siksaan yang tidak pernah berhenti ini. Sampai orang tua kami kembali kepada kami. Dan sampai anak ibu kembali kepada ibu….” (na-str-/ic)