Lebih cacat lagi adalah proses perebutan wilayah oleh Israel itu dilakukan dengan brutal. Pada peristiwa Deir Yasin di 1948, Israel membunuh membabi buta penduduk Palestina yang tidak bersalah
Para tentara Israel membunuh dan menyiksa seluruh kaum Palestina, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Hal ini diperparah dengan terjadinya perang yang berlangsung selama enam hari pada Juni 1967. Dari perang ini, Yerusalem Timur dicaplok Israel dan Masjid Al-Aqsha serta Baitul Maqdis dikuasai dengan manipulasi politik dan perundang-undangan.
Dari sanalah kemudian pemberangusan etnis dan kebangsaan Palestina digencarkan Israel. Yang paling parah, pada 21 Agustus 1969 Masjid Al-Aqsha dibakar Israel. Sejumlah manuskrip serta peninggalan sejarah masjid ludes terbakar.
Hal ini kemudian semakin menimbulkan semangat perjuangan bangsa Palestina, yang apabila diukur dalam segi kekuatan fisik jauh lebih lemah dibanding Israel dan para sekutunya. Kendati demikian, gerakan ini justru melahirkan sebuah gerakan besar pada 1980 dari Palestina untuk membebaskan diri dari penjajahan. Gerakan ini dikenal dengan nama Intifadah I yang berlangsung hingga 1993.
Dalam buku Palestina: Sejarah, Perkembangan, dan Konspirasi karya Muhammad Shaleh Muhsin, gerakan-gerakan perjuangan Palestina juga memunculkan organisasi perjuangan seperti Hamas, Fatah, Palestine Liberation Organisation (PLO). Dalam perjuangannya, bangsa Palestina kerap kali menggaungkan pentingnya Masjid Al-Aqsha bagi umat Muslim di dunia. Simbol kesucian agama ini menjadi semangat melawan kezaliman Israel.
Meski negara-negara di dunia kerap menggaungkan keras-keras tentang HAM, kemerdekaan, serta kebebasan hidup, nyatanya untuk beberapa negara tertentu hal itu hanya menjadi jargon semata. Penjajahan secara vulgar yang dilakukan Israel terhadap Palestina hingga hari ini seolah tak dilihat oleh dunia.