Kecaman atas kebijakan keji Israel terhadap rakyat Palestina terus mengalir. Sekitar 10 organisasi perdamaian dan 200 tokoh aktivis dan kaum intelektual asal Israel membuat petisi berisi desakan pada Pengadilan Tinggi Israel agar mengeluarkan perintah penghentian pembunuhan terhadap rakyat Palestina oleh militer Israel.
"Berapa banyak lagi anak-anak yang akan mati sebelum hakim-hakim di pengadilan tinggi merespon persoalan ini," demikian bagian isi petisi seperti dikutip Yerusalem Post edisi Selasa (14/11).
"Jika sebuah keputusan tidak segera dibuat, akan timbul kematian lebih banyak lagi orang-orang tak berdosa seperti yang terjadi beberapa hari lalu di Beit Hanun."
Para penandatangan petisi juga meminta pihak pengadilan merespon dua petisi lainnya yang pernah diserahkan pada tahun 2002 dan 2003, yang isinya menentang kebijakan militer Israel membunuh orang-orang yang sudah ditargetkannya.
Pembunuhan semacam itu pernah terjadi pada pertengahan Juli dan pertengahan September, di mana 136 warga sipil Palestina tewas menjadi korban.
Para aktivis perdamaian yang membuat petisi mengecam taktik yang digunakan militer Israel dengan cara menghancurkan dan menyebabkan tewasnya warga Palestina tak berdosa. Hal itu, menurut mereka, hanya memicu aksi balas dendam dari para pejuang Palestina.
"Pengadilan bertanggungjawab atas banyak korban tewas dan terluka dikedua belah pihak," kata Yoav Hass, ketua kelompok kiri Yesh Gvul.
Ketidakpedulian pihak mahkamah keadilan Israel, menurut para pembuat petisi itu, menjadi lampu hijau bagi militer Israel untuk melegalkan kebijakan membunuh warga Palestina yang menjadi target mereka.
Hass menyatakan, jika pihak mahkamah keadilan Israel mengabaikan petisi mereka, dunia akan memandang rendah pada pengadilan Israel dan musuh-musuh Israel di dalam negeri akan bertambah.
Di antara aktivis yang memberikan tandatangannya pada petisi anti serangan Israel itu antara lain Harold Pinter, pemenang hadiah Nobel bidang kesusasteraan tahun 2005, Betty Williams dan Mairead McGuire, pendiri organisasi yang mengkampanyekan perdamaian di Irlandia Utara dan memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1976. Mereka menuding mahkamah Israel menghindar untuk mengeluarkan keputusan tegas atas tindakan militer Israel.
Sejarah kebijakan Israel untuk melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh di Palestina yang terkadang ikut mengorbankan rakyat sipil tak berdosa, berawal pada tahun 1970-an, ketika sebuah tim komando militer Israel melakukan pembunuhan terhadap tiga pemimpin PLO di Beirut. Tim pembunuh itu dipimpin oleh Ehud Barak, yang kemudian menjadi PM Israel.
Para pengamat mengungkapkan, taktik membunuh para pemimpin pejuang dan tokoh-tokoh Palestina saat ini tidak lagi mendapat simpati dari kalangan masyarakat Israel sendiri.
Polling yang pernah dilakukan surat kabar Yediot Ahronot pada publik Israel menunjukkan prosentase yang besar dari responden, yang meragukan akan taktik dan operasi pembunuhan semacam itu. (ln/iol)