Akibat Serangan Israel, Sektor Pendidikan di Libanon dan Palestina Berantakan

Masalah pendidikan di Selatan Libanon, adalah permasalahan besar akibat perang yang dilancarkan Zionis Israel. Pasukan udara Zionis Israel telah mempertontonkan kebiadabannya dengan menghancurkan ratusan sekolah di Selatan Libanon. Sektor pendidikan di Libanon mengalami ancaman yang sangat berbahaya bukan hanya kehancuran fasilitas pendidikan, tapi juga menurunnya kualitas pengajar dan ketidakmampuan keluarga untuk membiayai pendidikan.

Menteri pendidikan Libanon, Khaled Qabany, mengatakan, “Dana untuk menutupi kebutuhan biaya sektor pendidikan tahun depan telah dipakai untuk memperbaiki fasilitas pendidikan yang hancur oleh serangan Israel. Jumlah dana yang dibutuhkan sekitar 70 juta dolar.”

Ia juga menjelaskan bahwa pada pertemuan solidaritas pertama untuk pendidikan di Libanon, yang diselenggarakan Menteri Pendidikan, bekerjasama dengan Unicef dari PBB, dana pembangunan meliputi pembangunan gedung dan pembelian sarana dan prasarana sekolah, serta pelatihan bagi guru-guru dan pengembangan kurikulum.

Qabany mengatakan, jumlah sekolah yang hancur akibat serangan udara Israel, lebih dari 300 gedung sekolah. Padahal tahun ajaran baru 2006-2007 di Libanon akan dimulai pada tanggal 9 Oktober mendatang. Di samping itu, serangan Zionis Israel yang dimulai sejak 21 Juli, menyebabkan satu juta orang mengungsi ke berbagai daerah dari Libanon Selatan.

Di Jalur Ghaza, Palestina, sektor pendidikan juga mengalami problema serius akibat agresi Israel. Para orang tua sudah tidak mampu lagi menunaikan biaya sekolah mereka karena kondisi ekonomi yang semakin menurun. Seorang karyawan di pemerintahan Palestina, Muhammad Abu Murr mengatakan, dia tidak mampu lagi membayar biaya pendidikan sejak dimulainya tahun ajaran baru karena perekonomian yang semakin tak menentu melanda Palestina.

Abu Murr yang hidup di tenda pengungsian Khan Yunis, selatan Ghaza, mengatakan, “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Tahun ini saya tidak mampu membeli apapun untuk anak-anak saya. Tidak mampu membeli pakaian sekolah, buku-buku dan peralatan sekolah.” Selain Abu Murr masih ada sekitar 160 ribu orang karyawan lagi yang tidak menerima gaji sejak bulan Maret karena isolasi ekonomi yang dilakukan Israel, pascakemenangan Hamas di Palestina.

Di Palestina, tahun ajaran baru harus mulai berjalan sejak bulan September ini. Namun melihat sikon perekonomian Palestina, tidak ada yang tahu, apakah roda pendidikan di Palestina akan berjalan atau tidak. Di samping banyak keluarga yang tidak mampu membayar biaya sekolah untuk anak-anak mereka, muncul pula kemungkinan aksi mogok mengajar yang dilakukan sejumlah guru lantaran mereka tak menerima honor mengajar sebagaimana mestinya. (na-str/iol)