Upaya para akademisi di Palestina untuk mengkampanyekan gerakan boikot terhadap Israel di Inggris Raya membuahkan hasil yang menggembirakan. Insitusi-institusi pendidikan dan riset di negara itu menyatakan dukungannya terhadap kampanye boikot tersebut.
Dalam kampanyenya, para akademisi asal Palestina menyerukan program BDS, kependekan dari "Boycott, Disinvestment and Sanctions" terhadap perusahaan dan institusi Israel yang telah bekerjasama lembaga-lembaga militer dan keamanan yang beroperasi di Tel Aviv.
Menurut Ketua Persatuan Akademisi Palestina, Amjad Barham, universitas-universitas dan lembaga-lembaga riset Israel menjalin kerjasama yang erat dengan lembaga-lembaga keamanan dan militer Israel. "Mereka tidak pernah menjaga jarak dengan rezim penjajah, meski tindakan itu menyebabkan sistem pendidikan di Palestina terpuruk selama lebih dari empat dekade," tukas Barham.
Kampanye BDS yang dimotori para akademisi Palestina itu mendapat dukungan dari para akademisi di Universitas Brighton, College of North East London dan Universitas East London. Para akademisi itu mengecam keterlibatan insitusi pendidakan dan riset Israel dalam kemiliteran dan kolonialisasi yang dilakukan rezim Zionis Israel.
Para akademisi di ketiga institusi pendidikan tinggi di Inggris itu membuat mosi bersama yang isinya,"Kongres menegaskan dukungannya pada kampanye boikot, disinvestasi dan sanksi terhadap Israel yang diserukan oleh para akdemisi Palestina."
Organisasi Scottish Trades Union Congress (STUC) yang menjadi organisasi payung semua persatuan perdagangan di Skotlandia juga menyatakan mendukung kampanye itu sampai Israel benar-benar mematuhi hukum internasional dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Keputusan STUC berdasarkan pada hasil temuan delegasinya yang dikirim ke Israel dan ke wilayah Palestina selama dua tahun belakangan ini. Delegasi STUC menyaksikan sendiri bagaimana Israel melakukan pelanggaran HAM di Palestina hampir setiap hari.
"Kami melihat pembatasan gerak warga Palestina dan pos-pos keamanan Israel yang membuat warga Palestina sulit mendapatkan akses untuk bekerja, sekolah atau sekedar mengunjungi anggota keluarganya, bahkan ketika warga Palestina sakit berat dan dalam kondisi sekarat, mereka tidak diberi akses untuk berobat," kata Sekjen STUC Grahame Smith dalam konferensi tahuan organisasi itu pekan kemarin.
Rezim Zionis Israel berhasil menerapkan kebijakan yang membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian, Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan tujuan memecah belah rakyat Palestina menjadi dua komunitas yang berbeda dari sisi budaya dan etnisnya. Israel juga memberlakukan larangan bagi warga Gaza yang ingin masuk ke Tepi Barat, begitu juga sebaliknya.
Kebijakan Israel ini sama dengan kebijakan politik Inggris Raya di kawasan Asia Pasifik pada masa kolonial, dimana Inggris membedakan wilayah Asia Selatan berdasarkan budayanya menjadi Bangladesh dan Pakistan.Keduanya berada di bawah kontrol Inggris lewat kebijakan Negara Persemakmuran. Setelah Inggris mundur dari Asia Selatan, Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan dan menjadi negara yang independen. (ln/prtv)