Lembutnya cahaya matahari yang baru terbit menerangi tanah yang menghijau oleh lambaian dedaunan pohon-pohon jeruk menandai kehidupan damai warga Palestina sebelum tahun 1948.
Gambaran yang damai itu tiba-tiba berubah, ketika terlihat orang-orang yang tergeletak di tengah genangah darah berwarna merah kehitam-hitaman. Sementara itu, para ibu dengan wajah ketakutan dan menggendong bayi-bayi mereka berlarian untuk menyelamatkan diri. Inilah gambaran situasi ketika kelompok Zionis Israel memborbardir desa-desa di Palestina, Askalan dan Tal Al-Rabei yang sekarang dikenal sebagai Tel Aviv.
Gambaran-gambaran di atas, sekarang bisa dilihat di sebuah tembok sepanjang 50 meter di pintu masuk kamp pengungsi Balata di Tepi Barat. Tembok berisi lukisan tentang penderitaan warga Palestina itu memang dibuat untuk memperingati peristiwa kelam Nakbah 58 tahun silam.
Di bagian lain tembok itu, terdapat lukisan seorang laki-laki tua warga Palestina sedang memeluk kunci rumah miliknya yang sudah dirampas kaum Zionis. Dalam gambar itu, laki-laki tua tadi berkata pada cucu-cucunya, "Suatu hari, kita akan kembali."
Ada juga lukisan yang menggambarkan buruknya kondisi kehidupan warga Palestina di kamp-kamp pengungsian yang hanya terdiri dari tenda-tenda tempat mereka berlindung.
Peristiwa Nakbah dikenang sebagai peristiwa kelam dan menjadi awal penderitaan panjang warga Palestina di bawah penjajahan Zionis Israel. Peristiwa itu diawali dengan penangkapan oleh kelompok Irgun pimpinan Menachem Begin terhadap warga Palestina Tiberius pada 18 April 1948, menyebabkan 5.500 warga Palestina mengungsi.
Tanggal 22 April, kota Haifa jatuh ke tangan para penjajah Zionis yang menyebabkan sekitar 70.000 warga Palestina mengungsi. 22 April, kelompok Irgun membombardir fasilitas-fasilitas milik warga sipil di kota Jaffa, kota terbesar di Palestina pada saat itu, menyebabkan 750.000 warga Palestina yang ketakutan dan panik juga mengungsi.
Kemudian tanggal 14 Mei, sehari sebelum pembentukan negara Israel di atas kehancuran dan mayat-mayat warga Palestina, Zionis Israel berhasil menguasai kota Jaffa dan hanya sekitar 4.500 warga Palestina yang tersisa di kota itu. Sejak itulah dimulai penderitaan panjang warga Palestina di bawah penjajahan Zionis Israel.
Dinding berisi lukisan yang menggambarkan peristiwa kelabu itu merupakan hasil kerjasama para pelukis Palestina yang kakek-kakek mereka mengalami pengusiran pada saat peristiwa Nakbah. Mereka terusir dari rumah-rumah mereka.
"Mereka menghabiskan sepanjang minggu ini untuk membuat lukisan-lukisan yang menggambarkan beberapa fase dilema kehidupan rakyat Palestina," kata Sabri Zawqan, dari Dewan Nasional Hak untuk Kembali bagi para pengungsi Palestina yang memelopori pembuatan dinding lukisan ini.
"Setiap tahun, warga Palestina selalu memiliki ide dan cara untuk mengekspresikan keinginan mereka untuk kembali ke tanah air mereka dan mengungkapkan pada dunia penderitaan yang mereka alami," sambung Zawqan.
Kamp pengungsi lainnya di Askar, sebelah timur kota Nablus di Tepi Barat juga menyelenggarakan peringatan serupa. Mereka menggelar pameran lukisan dan foto anak-anak dari berbagai kamp pengungsian, dengan tema "Bells of Return."
Nevine Al-Qisi, 12, menggambar sebuah kunci yang terkait dengan sebuah gambar peta Palestina bergambar hati, dengan kota Al-Quds di sisi kirinya, disisipkan tulisan ‘heart’. Sementara Halimah Ahmad,13, menggambar sketsa seorang laki-laki tua dengan sebuah kunci rumah yang ia tinggalkan pada 1948 tergantung di lehernya, isterinya nampak membawa harta benda milik mereka dan keduanya menuntun cucu-cucu mereka.
Pameran tersebut juga memperlihatkan benda-benda miliki warga Palestina dari tahun 1948, seperti pakaian-pakaian dan belanga-belanga.
Zawqan, seperti jutaan warga Palestina lainnya yang masih memimpikan suatu saat nanti bisa kembali ke tanah air mereka. Mereka selalu menyampaikan mimpi itu dari generasi ke generasi. Menurutnya, para seniman dan pelukis Palestina sudah terus mengkampanyekan hak warga Palestina untuk kembali ke tanah airnya.
"Kami terus membangkitkan budaya ini ke anak-anak kami agar mereka tidak menyerah untuk mendapatkan hak mereka, kami juga terus mengingatkan peristiwa ini dalam pikiran mereka," tambah Zawqan. (ln/iol)