Dan yang paling baru di bulan Mei, kabinet Israel mengadakan pertemuan pekanan mereka di terowongan di bawah Masjid al-Aqsa, pada peringatan 50 tahun pendudukan Israel di Yerusalem Timur, “untuk menandai pembebasan dan penyatuan Yerusalem” – sebuah langkah yang membuat warga Palestina marah.
Militer Israel membatasi masuknya warga Palestina ke dalam kompleks tersebut melalui beberapa metode, termasuk tembok pemisah, yang dibangun pada awal tahun 2000an, yang membatasi masuknya warga Palestina dari Tepi Barat ke Israel.
Dari tiga juta orang Muslim Palestina di Tepi Barat yang diduduki, hanya mereka yang berusia di atas batas usia tertentu yang diizinkan masuk ke Yerusalem pada hari Jumat, sementara yang lain harus mengajukan permohonan izin ketat dari pihak berwenang Israel. Pembatasan sudah menyebabkan kemacetan dan ketegangan serius di pos pemeriksaan antara Tepi Barat dan Yerusalem, di mana puluhan ribu orang harus melewati pemeriksaan keamanan untuk memasuki Yerusalem demi menunaikan sholat Jumat.
Langkah terakhir, termasuk detektor logam baru, dilihat oleh Palestina sebagai bagian dari cara Israel untuk menerapkan kontrol lebih lanjut (menguasai) lokasi tersebut, dan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah, yang dilindungi oleh hukum internasional, menurut para ahli di dunia.
Presiden Mahmoud Abbas baru-baru ini mengumumkan bahwa pimpinan Palestina telah membekukan semua kontak dengan Israel karena ketegangan yang meningkat di kompleks al-Aqsha, mengatakan bahwa hubungan tidak akan berlanjut sampai Israel menghapus semua tindakan pengamanan di komplek Masjid Al Aqsha. (Aljazeera/Ram)