Pahala Ramadhan Menggantung Karena Belum Zakat?

Tak Berkategori

Assalamu ‘alaikum wr. Wb.

Salah seorang ustadz pernah ceramah mengatakan bahwa selama kita belum menunaikan zakat fitrah, maka semua pahala Ramadhan kita seperti puasa, tarawihdan lainnya masih menggantung di langit. Kata beliau, Allah SWT masih belum mau menerima amal-amal itu sampai zakat fitrah ditunaikan.

Sayangnya beliau tidak menyebutkan landasan syariah atas fatwanya. Baik dari Al-Quran atau pun dari Sunnah.

Yang jadi pertanyaan, benarkah hal itu pak Ustadz? Dan kalau memang benar, adakah dalil atas hal tersebut? Misalnya ayat Al-Quran atau pun hadits nabawi.

Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz selalu berada dalam karunia Allah SWT. Amien ya rabbal ‘alamin

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Memang kami juga pernah mendengar ada sebagian penceramah yang menyebutkan bahwa amal-amal kita selama bulan Ramadhan masih tergantung di langit, sampai kita menunaikan zakat fithr.

Bahkan di antara penceramah itu ada yang mengutipkan potongan dalil konon menurutnya adalah hadits nabawi. Lafadznya adalah sebagai berikut:

شهر رمضان معلق بين السماء والأرض ولا يرفع إلى الله إلا بزكاة الفطر

(Pahala) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi. Tidak terangkat kepada Allah SWT kecuali dengan ditunaikannya zakat fihr.

Status Hadits

Meski lafadz dalil telah disebutkan, namun yang menjadi permasalahan adalah siapakah yang meriwayatkan hadits ini? Dan apa sebenarnya status hadits ini?

Namun sayangnya, Bapak penceramah tersebut tidak menyebutkan perawi hadits tersebut. Sehingga justru kedudukan hadits itulah yang menggantung. Tidak jelas apakah hadits itu shahih, hasan, dhaif atau malah palsu.

Kebiasaaan tidak menyebutkan status suatu hadits terkadang agak merepotkan para pendengar ceramah yang semakin hari semakin kritis dan pintar. Seharusnyahal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penceramah untuk lebih sering membolak-balik kitab rujukan dari pada sering bolak-balik naik podium.

Kami coba melakukan penelusuran ke sana kemari untuk menjawab pertanyaan ini. Dan alhamdulilah, akhirnya atas izin Allah kami menemukan beberapa penjelasan tentang status hadits ini, baik dari segi kritik sanad hadits mapun dari segi kritik matan hadits.

A. Kritik Sanad Hadits

Yang pertama, kita dapat keterangan dari Al-Imam As-Suyuthi, seorang muhaddits besar. Dalam kitabnya, Al-Jami’ Ash-Shaghir, beliau menuturkan bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif meski tanpa menyebutkan alasannya.

Lafadz hadits menurut beliau telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya, At-Targhib. Juga diriwayatkan oleh Imam Al-Dhiya’. Kedua orang ini meriwayatkan dari Jabir.

Yang kedua, keterangan kita dapat dari Ibnul Jauzi. Beliau dalam kitabnya Al-Wahiyat mengatakan bahwa di dalam sanad hadits itu adalah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid Al-Bishri. Orang ini termasuk orang yang tidak dikenal identitasnya. (Lihat Al-Minawi dalam Faidhul Qadir jilid 4 halaman 166).

Yang ketiga, pengukuhan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang muhaddits besar. Beliau juga menguatkan penjelasan dari Ibnul Jauzi bahwa hadits itu tidak memiliki muttabi’. Maksudnya, tidak ada hadits lain yang senada dengan hadits itu secara esensi namun dengan sanad yang berbeda.

Yang keempat, ada kisah menarik dari Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah tentang pengalaman beliau dalam mencari keterangan tentang hadits ini. Di perpustakaan Azh-Zhahiriyah Damaskus Syria, beliau melacak lafadz yang konon dikatakan sebagai hadits di dalam kitab Fadhailul Quran karya Imam Ibnu Syahin (w. 385 H).

Kitab itu ternyata masih berbentuk manuskrip tulisan tangan, belum dicetak menjadi buku seperti di zaman sekarang. Pencarian di kitab itu lantaran menurut keterangan dari Al-Mundziri (w. 656 H), hadits itu terdapat di dalam kitab tersebut dan konon katanya sanadnya bagus.

Namun ternyata Syeikh Al-Albani kecewa, sebab hadits yang disebutkan itu tidak terdapat di dalam kitab yang dimaksud. Bahkan Imam Ibnu Syahin sebagai penulisnya sama sekali tidak memberikan penjelasan apapun tentang hadits itu.

Rupanya Al-Munziri telah silap dalam memberikan keterangan tentang hadits tersebut. Dan bukan hanya beliau, karena Ahmad bin Isa Al-Maqdisi juga terjebak dalam kesalahan yang sama. Kesimpulannya, hadits itu tidak ada kejelasannya.

Yang kelima, ada informasi bahwa konon hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir. Namun sayang sekali, di dalam daftar para perawinya terdapat seorang yang bernama Abdurrahman bin Utsman bin Umar. Status perawi itu juga tidak jelas. Syeikh Al-Bani telah melakukan pelacakan atas dirinya dan beliau tidak menemukan keterangan apapun tentang orang tersebut.

Termasuk juga ahli hadits di negeri kita, Prof. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Di dalam buku karya beliau, Hadits-hadits Bermasalah, beliau menyebutkan bahwa dirinya juga tidak menemukan penjelasan tentang orang ini.

Jadi kesimpulan hadits ini tidak dapat dinilai karena ada perawi yang tidak dikenal alias majhul.

II. Kritik Matan Hadits

Selain lewat kritik sanad hadits, kita bisa melakukan kritik suatu hadits lewat matannya. Bila matannya bertentangan dengan ushul dan aqidah atau dengan dalil-dalil qoth’i yang lain secara berseberangan dan tajam, maka kritik dari segi matan bisa dilakukan.

Dalam hal ini Syeikh Al-Albani mengatakan bahwa secara matan hadits ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Beliau mengatakan belum pernah mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa amal-amal di bulan Ramadhan menjadi sia-sia selama belum mengeluarkan zakat fithr.

Di luar pendapat beliau, nalar kita pun dapat merasakan betapa esensi hadits ini bertentangan dengan prinsip dasar suatu ibadah. Hubungan antara zakat dengan puasa tidak terkait sebagaimana hubungan antara wudhu’ dengan shalat.

Kalau dalam masalah shalat, kita memang mengakui bahwa salah satu syarat sah-nya adalah suci dari hadats. Sehingga bila seseorang shalat dalam keadaan hadats kecil tanpa berwudhu’, para ulama sepakat bahwa shalat itu tidak sah.

Namun hubungan antara zakat dengan puasa tidak terjalin sebagai hubungan syarat dan masyrut. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak saling menjadi syarat atas sah-nya ibadah yang lain.

Artinya, seorang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, asalkan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, insya Allah SWT telah sah secara hukum di sisi Allah SWT. Tidak ada kaitannya apakah dirinya sudah menunaikan zakat atau belum.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc