Tema-tema besar pidato Anies ini tidak digubris. Evi Mariani ikut arus dan irama yang ditabuh Ahoker Sakit Hati.
Bagi saya, ini kegenitan. Evi Mariani berusaha memproduksi “racist profiling” terhadap sosok Anies Baswedan. Satu kata “pribumi” digunakan sebagai alat merobohkan program-program keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan lain sebagainya.
Seluruh konten dan bagan tulisan Evi Mariani berdiri di atas landasan “Liberal Democracy” dan Pseudo Civil Liberty Movement. Keduanya, bersama Left Wing Vandalism, LGBT, Aliran Sesat adalah kaki-kaki yang menghasilkan kepemimpinan diktatorial Ahok.
Versi serupa dengan Anti Fascist Movement yang membakar Brooklyn dan melarang aksi massa konservatif. Ternyata, “Anti Fascist” hanya label doang. Aksinya, fasis banget.
Lagipula, seksi pidato Anies yang dinyinyirin itu ada dalam frame diskursus “sosio-historikal”. Di situ, “Pribumi” bukan istilah rasis. Tapi, orang-orang rasis akan melihat semuanya dengan kacamata rasis. Ibarat, orang berkacamata biru, melihat segalanya menjadi biru.
Selain tidak bersih rasisme, Evi Mariani mengidap “historial blindness”.
Sejarah Indonesia, seperti kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo, adalah sejarah tentang perjuangan kaum bumiputra dan muslim. Jenderal Besar Sudirman adalah seorang kyai. Minoritas punya peran. Ada, tapi tidak signifikans. Minimal, tidak sebesar penderitaan dan perjuangan golongan mayoritas pribumi. Misalnya, non-pribumi tidak menjadi korban terperih Romusha.
Agenda global dan paradigma multikultural berusaha mengabaikan fakta sejarah ini. Dibalik jargon-jargon pluralistik dan humanisme, ada terselip cultural imperialism agenda. This is a new form of soft global colonialism. Motifnya, orang asing bisa masuk dan menjajah pribumi dengan cara-cara halus.
Bila satu kata “pribumi” bisa menganulir semua program-program kerakyatan Anies-Sandi, ya itu urusan Evi Mariani Sofian. Masih ada 9 juta orang Jakarta yang berharap program-program itu sukses.(kl/ts)
Judul asli: Hanya Satu Kata Evi