Sewaktu ditanya seputar posisi strategis yang diisi oleh orang partai, Joko Widodo reply *”akan”* merevisi peraturan.
Jurus “well-crafted apology” ditemukan ketika Joko Widodo *menjawab soal “konflik interest”* yang diajukan Prabowo.
Awalnya, Joko Widodo tampak kurang memahami pertanyaan itu. Sehingga Prabowo terpaksa mengulang dengan contoh deskripsi kasus penyataan Kepala Bulog dan Menteri Pertanian yang menyatakan stock beras cukup, sehingga tidak perlu impor. Tapi Menteri Perdagangan malah mengajukan impor.
Joko Widodo menyatakan malah senang ada menteri saling beda pendapat. Artinya saling mengawasi.
Syahdan, menteri negara punya tupoksi tambahan saling mengawasi. Bukannya fokus kerja sesuai jobdesk dan bidang masing-masing.
Dipecatnya Rizal Ramli dan Sudirman Said yang beda pendapat, sehingga bikin gaduh merupakan contoh gap antara “kata” dan “fakta”.
Jurus ngeles Joko Widodo itu sepadan dengan Tim Sutton, a Republican county commissioner in North Carolina, yang menyatakan Black-African bukan “slaves” tetapi “humanely treated workers”.
Seorang politisi konservatis Bill Kristol _menyebut dua terminology i.e. “vulgarity and shamelessness”.
Kedua istilah itu terasa muncul sewaktu Joko Widodo menyerang Partai Gerindra dan Prabowo sebagai partai yang paling banyak mengusung ex napi koruptor.
Spinning the data, ICW malah menyebut Partai Golkar sebagai partai pengusung ex napi koruptor. Jumlahnya 8 orang caleg plus 6 orang dari Hanura.
Selain itu, Joko Widodo mengulas “kompetensi-based recruitmen* dan *bukan berdasar finansial”.
Tiba-tiba dia menyatakan : “Nyatanya saya terpilih menjadi Gubernur DKI tanpa modal finansial dan Pak Prabowo tahu itu”.
Ya dia (dan Ahok) memang tidak keluar uang. Hasyim Joyohadikusumo yang bayarin?
Tanpa malu, level buzzer juga tiba-tiba naik panggung debat capres. Joko Widodo mengutip hoax Ratna Sarumpaet dan 70 juta kertas suara. Padahal Prabowo-Sandi adalah korban permainan kontra-intelijen dua skandal hoax itu.
Mengutip sejarawan Nancy Koehn dari Harvard Business School _yang mengatakan bahwa rasa malu tidak lagi berperan sebagai moral compass.
_Mungkinkah kita sedang memasuki era “The Death of Shame” dan “The Rise of Shamelessness”?