Supaya jadi komisaris atau anggota dewan, mereka butuh legitimasi rakyat. Legitimasi itu dibangun atas sebuah “common enemy” yang dibenci. Narasi Hantu “Kebangkitan Orde Baru” dihidupkan menakuti rakyat. Another type of mass psychological terror.
Selama masa kampanye pilpres 2014, sebuah metode baru diterapkan. Memainkan sosial media. Massif, terstruktur dan sistematis. Relawan Jasmev sudah dibentuk. Ready to fight. Media-social war dimulai. Tanpa lawan, mereka obrak-abrik informasi internet.
Segala rasionalisasi, apologetik, framing dan hoax ditebar secara massif. Pencintraan selama di Solo dan Jakarta diulang-ulang seperti kaset kusut.
Setiap hari, publik difeeding berbagai jargon, slogan, obral janji ini-itu dan jualan macam-macam kartu.
Misalnya jargon; Benahi banjir dan macet Jakarta lebih mudah bila jadi presiden, stop utang, stop impor, janji tidak menggusur, ngga bagi-bagi kursi, tol laut, buyback indosat, pertumbuhan ekonomi 7% dan paling fenomenal adalah stealth mode car Mobil Esemka. Tak terditeksi radar dan panca-indera.
Setelah dilantik, Joko Widodo boro-boro inget Jakarta. Dia bagi-bagi kursi. Nasdem dapet jatah posisi Jaksa Agung. Relawan diangkat jadi komisaris. Kualifikasi mereka sering dipertanyakan. Misalnya, background Fadjroel Rahman yang dikenal sebagai pengamat politik dan aktifis bisa-bisanya direposisi menjadi Komisaris Utama BUMN Konstruksi PT Adhi Karya.
Sekitar Juni 2015, Presiden Joko Widodo secara terbuka mengekspresikan dukungan kepada “Islam Nusantara”.
Menteri Susi mulai melancarkan kampanye bombastis meledakan kapal-kapal asing. Agresif dan offensive. Policy Cantrang sulitkan nelayan. Nasib nelayan tetap kere. Susah melaut. Slogan “revolusi mental” dan “Kerja Kerja Kerja” jadi mantera ajaib.