Zainal Bintang: “Perang Kilat” Sibolangit

Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Budaya hirarkis dan tertutup yang menuntut seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat. Pada budaya ini terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan.

Perlindungan yang diberikan oleh atasan atau pimpinan berwujud status dan pangkat. Kedua atribut tersebut merupakan hak istimewa bagi seorang bawahan yang kemudian menentukan status sosial seseorang di mata masyarakat. Pola atasan dan bawahan juga menandai hubungan pengurus pusat dengan pengurus daerah.

Menciptakan figur sinterklas yang murah hati di pusat guna merawat loyalitas pengurus daerah. Yang disebut sebagai “bawahan” itu, justru adalah penentu keputusan di level “atasan”. Merujuk pola paternalisme, mayoritas pengurus partai atau organisasi apapun, wajib hukumnya memosisikan pengurus daerah sebagai “pembutuh orang kuat” di pusat. Meniscayakan sosok ketua umum sebagai sinterklas untuk merawat kesinambungan loyalitas pengurus daerah. Termasuk dan terutama kesejahteraan dan ekonomi.

Ideologi pengurus daerah adalah pemahaman berharga mati terhadap kesinterkelasan seorang ketua umum manakala dia memegang jabatan dalam struktur negara. Ketua umum tanpa jabatan struktural dalam pemerintahan oleh pengurus daerah dianggap sebagai “yatim piatu” yang cuma ngajakin sengsara. Dipastikan gampang terserang dehidrasi atau penyakit ayan.

Diksi “kudeta” yang ditujukan kepada Meoldoko adalah sebuah kata yang seksi. Membangkitkan gairah perang pengurus daerah di kedua kubu yang berseteru. Pernyataan loyal dan siap mati membela ketua umum bersahut-sahutan di angkasa. Disiarkan secara luas dan masif hampir semua saluran televisi.

Publik menyaksikan bagaimana perlombaan orasi meramaikan jagad politik. Pengurus daerah menjadi tokoh penting dan tamu mulia di ibukota. Membuat frekwensi pemberitaan kebijakan pemerintah yang kontroversial menurun di liputan media.

Langkah kubu “Demokrat SBY” yang dimotori ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggerakkan perlawanan daerah sebagai simbol loyalitas. Langkah ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan “Demokrat Moeldoko” mengacaukan otak kubu kembarannya. Pada akhirnya kedua kubu Demokrat tidak ada yang dapat bekerja dengan tenang.

Waktu, tenaga, fikiran dan dana habis begitu saja hanya untuk memperebutlan publik opini hingga tiba Pemilu 2024. Eksistensi Demokrat SBY mengalami pelumpuhan seiring hambarnya pelan-pelan simpati publik. Elite Demokrat SBY terjebak di dalam perangkap membela diri dan kesibukan menembaki pengacaunya. Inilah target utama kekuasaan. Pengebirian intensitas sikap kritisisme.

Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah tak melindungi atau mengawal acara yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat. Meski tak melindungi, ia menegaskan pemerintah juga tak boleh membubarkan acara itu. Itu sesuai UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, kata Machfud di media Minggu (07/03/21).