Para Jihadis di Timur Tengah dan sekitarnya mulai bergerak melihat krisis politik di Mesir, dan menyaksikan tindakan keras pemerintah yang dibentuk militer terhadap Ikhwanul Muslimin . Tragedi tersebut membenarkan pandangan para jihadis bahwa demokrasi adalah hanyalah alat para musuh Islam yang dipaksakan di negeri negeri Muslim yang hanya untuk pemecah belah umat dan tentunya permainan demokrasi ini tidak boleh sekali -kali dimenangi oleh kalangan Islam.
Panggilan jihadis yang telah berakar di wilayah Sinai Mesir dapat dimungkinkan mempengaruhi gerakan Ikhwanul Muslimin untuk tidak mentaati janji kelompok mereka yang antikekerasan. Prospek radikalisasi akan berlanjut, dan akan mengancam untuk merusak tujuan utama AS di kawasan tersebut yang berkeinginan untuk menenggelamkan suara ekstrimis dengan meningkatkan suara yang menurut mereka moderat, yang demokratis.
Militan Islam memang tidak pernah percaya mengenai demokrasi , di satu sisi , saat ini Ikhwanul Muslimin merasa sangat gundah. Mereka merasa bahwa mereka telah ditipu. Oleh sebab itu ajakan militan jihadis kemungkinan akan lebih diterima oleh mereka sekarang daripada masa sebelumnya. ”
Beberapa jam setelah foto mengerikan dari pembantaian demonstran Mesir berdarah mulai beredar di media sosial dan forum jihad, kelompok militan mulai menyebut tindakan kekerasan diperlukan untuk membalasa atas penghinaan terhadap umat dan Islam .
“Akankah Muslim menunggu sampai mereka dicegah untuk menunaikan ibadah di masjid-masjid?” sebuah tulisan para Jihadis dalam sebuah pernyataan yang diarahkan kepada Ikhwanul Muslimin Mesir, yang dikeluarkan sebagai respon keras atas tragedi Rabu. “Apakah mereka akan menunggu sampai jenggot menjadi hal yang diancam dengan pidana penjara?! Apakah mereka akan menunggu sampai anak-anak mereka masuk penjara dengan puluhan ribu orang disiksa?”
Peringatan ulama jihadis itu bukanlah tanpa alasan, karena dalam beberapa dekade pemerintahan otoriter militer , mereka telah dianiaya dan penahanan bertahun tahun tanpa kejelasan hukum serta organisasi mereka pun dilarang secara hukum otoriter kala itu. bahkan Pria berjanggut diinterogasi di bandara dan dilarang memasuki lokasi wisatawan tertentu, dan Wanita yang mengenakan cadar diasingkan dalam kehidupan ajar mengajar di universitas dan di tempat kerja.
Setelah tahun 2011 pemberontakan rakyat di negara itu, salah satu kelompok Islam, Salafi Mesir, yang berkiblat ke pemerintahan Saudi , sangat dikagetkan dengan membuat partai dan mengikuti pemilu , mereka bergegas untuk membentuk partai politik baru. Bersamaan dengan itu Ikhwan memobilisasi basis pemilih mereka. Bersama-sama, mereka memenangkan mayoritas kursi di parlemen dan berhasil memenangkan Mohamed Morsi, seorang pemimpin dari Ikhwanul Muslimin yang relatif jelas, terpilih sebagai presiden.
Tetapi Kemenangan itu berumur pendek. Pengadilan tinggi Mesir membubarkan parlemen pada tahun 2012. Dan pada bulan lalu, dengan konspirasi dan melibatkan massa sekuler Mesir, militer seolah mempunyai kekuatan baru di negara itu dengan menggulingkan dan memenjarakan Mursi.
Jihad el-Haddad, juru bicara Ikhwanul Muslimin, mengatakan pada hari Rabu bahwa gerakan Ikhwan adalah gerakannya mencegah penggunaan kekerasan , sebuah kebijakan yang dicanangkan pada tahun 1970 – dan mereka tetap berkomitmen untuk janji itu.
“Kami akan selalu bergerak tanpa kekerasan dan damai,” kata Haddad dalam tweeternya, menambahkan bahwa kelompok itu akan terus berjuang untuk mengupayakan Mursi dipulihkan. (WP/KH)