Beragam prolematika yang dialami bangsa Palestina sangat akut. Serangan asing terhadap eksistensi Palestina tak pernah surut sejak berdirinya negara Israel hingga detik ini. Ancaman itu bukan hanya dari satu sudut, tapi seluruh lini dengan segenap kemampuan yang dimiliki ditumpahkan untuk meraup hasil yang sebesar-besarnya.
Tragedi genosida Gaza lalu hanyalah satu dari sekian garapan Zionis Israel untuk menghapus negara Palestina dari peta dunia. Agresi selama 22 hari yang berhasil dihadang oleh pasukan perlawanan itu, bukan inidikasi berakhirnya ancaman kekuatan asing terhadap Palestina. Justru serangan brutal yang menyisakan korban jiwa dan hancurnya infrastruktur itu semakin menumpuk permasalahan Palestina.
Bak pahlawan kesiangan. Negara-negara Eropa-Barat sekutu Israel kompak menghadiri Konferensi Sharm El-Sheikh, berlomba-lomba menjadi pioner terdepan menanggung seluruh biaya renovasi Gaza. Tapi secara diam-diam memendam keinginan merombak total peta Gaza. Sebuah kamuflase politis klasik yang seenaknya dijual untuk mengangkat citra dan menuai target pengelabuan. Itulah sebenarnya salah satu tujuan Israel meluluhlantakkan Gaza.
Merubah peta Gaza untuk memberangus pasukan perlawanan. Konspirasi ini terbaca jelas oleh para pemain yang terjun langsung di lapangan. Ketika para penyokong Zionis Israel beramai-ramai ingin merenovasi Gaza, bukti apa yang bisa meyakinkan bahwa mereka tidak mempuyai agenda lain? Mustahilkah Israel menitipkan kepentingannya untuk membongkar pusat kekuatan perlawanan di terowongan-terowongan bawah tanah? Tidakkah mungkin Israel memasang agen Mossad-nya ketika renovasi dibuka lebar-lebar untuk siapapun? Bukankah strategi model ini yang diterapkan negara-negara musuh membabat Afghanistan, Iraq, Somalia, Sudan, dan negara-negara yang menjadi target penguasaan asing?
Al-Quds Terancam
Di lain sisi, gelombang besar yang mengancam eksistensi rakyat Palestina dan luput dari perhatian banyak orang kian tak terbendung. Penggusuran rumah penduduk Palestina besar-besaran di Al-Quds Timur semakin brutal. Penggalian di bawah masjid Al-Aqsha dan penghancuran sebagian bangunan masjid, khususnya Pintu Mugharabah, mengancam runtuhnya bangunan masjid. Seorang pimpinan gerakan Islam di kota Al-Quds, Syaikh Raid Shalah memperingatkan kepada sekalian umat Islam, bahwa Zionis Israel tengah merencanakan pembuatan mini rel kereta api dan tangga untuk para peziarah asing di bawah halaman masjid Al-Aqsha. Target stretegi baru ini untuk menghilangkan seluruh sisa bangunan lama di kota Al-Quds.
Sebelum tahun 1948, luas kota Al-Quds mencapai 39,3 km2. Termasuk didalamnya Al-Quds Lama seluas 9,3 km2. Ketika perang Arab-Israel meletus tahun 1948, 4% dari area Al-Quds Lama direbut Zionis Israel. Luas tanah selebihnya 30 km2 dan tanah ini dikenal dengan sebutan Al-Quds Barat. Di tahun itu juga 17 % dari tanah tersebut dikuasai Israel. Sekian tanah yang sudah dicaplok ternyata masih belum membuat Zionis Israel puas. Akhirnya Israel kembali menginvasi Palestina untuk memperluas daerah jajahannya di tahun 1967. Invasi ini membuahkan 84% tanah Al-Quds Lama menjadi milik Israel secara paksa, dan dua pertiga dari seluruh tanah Al-Quds diklaim menjadi hak milik Zionis Israel.
Sebuah penelitian di tahun 1945 menyebutkan, bahwa luas tanah Al-Quds ketika itu sebesar 868 km2 di dalam tembok pemisah. Sedangkan luas area yang berada di luar tembak mencapai 8463 km2, sehingga total area tanah Al-Quds adalah 19331 km2. Dari tanah tersebut yang menjadi hak milik bangsa Arab seluas 11191 km2 atau sekitar 58%. Adapun tanah yang didaku milik bangsa Yahudi sebesar 25 % atau 2835 km2, dan sisanya seluas 17% atau berukuran 3035 km2 untuk kepentingan jalan dan lapangan. Berselang kemudian terjadilah perang Arab-Israel pada tahun 1948 yang merubah total keadaan kota Al-Quds. Diperburuk lagi dengan kesepakatan Rodos di Yordania (3 April 1949). Dimana pasal V poin (b) menyebutkan pembagian baru kota Al-Quds, yaitu: pertama, Al-Quds Timur di bawah kekuasaan Yordania seluas 2220 km2. Kedua, Al-Quds Barat menjadi tanah jajahan Israel tahun 1948 seluas 16261 km2. Dan ketiga, daerah terlarang atau disebut Greenline menjadi miliki PBB seluas 850 km2.
Tanggal 30 Juli 1980 Pemerintah Israel mendeklarasikan penyatuan Al-Quds Timur ke dalam kekuasaan Israel. Target penyatuan ini adalah untuk menguasai sebagian tanah Tepi Barat yang juga akan digabung dengan Al-Quds. Tanah itu diperkirakan seluas 108 ribu km2 dan ditambah dengan kota Al-Quds Raya sehingga total luas tanah mencapai 123 ribu km2. Selain itu Israel berupaya membangun perkampungan yang akan merampas seperempat dari kota Tepi Barat, atau seluas 5800 km2.
Migrasi Besar-besaran
Keinginan Zionisme menggolkan peta demografi baru Al-Quds bermula dari konferensi Zionis pertama di Basel Swiss 1897. Beberapa lembaga penelitian menyebutkan, bahwa jumlah orang Yahudi di Al-Quds kian hari kian meningkat pesat. Namun lonjakan drastis ini bukan karena faktor alami, tapi ada unsur kesengajaan melalui migrasi secara diam-diam dan terorganisir. Hingga pada tahun 1900 jumlah orang Yahudi di Al-Quds mencapai angka 28122 dari total penduduk yang berjumlah 45430 jiwa. Angka ini kemudian meledak lebih dahsyat lagi akibat tercetusnya kesepakatan Balfor 1917, ditambah lagi dengan ulah pemerintah Inggris yang membuka lebar-lebar pintu migrasi Yahudi Eropa ke Al-Quds, yaitu antara tahun 1922-1948. Sehingga tahun 1931 jumlah orang Yahudi mencapai 51200 jiwa, sekitar 56,6% dari keseluruhan penduduk Al-Quds.
Pecahnya perang Arab-Israel 1948 yang dimenangkan Israel semakin mendongkrak jumlah orang Yahudi di Al-Quds, berkisar 84 ribu jiwa atau 97,2%. Penjajahan Zionis Israel kali ini merampas tanah Al-Quds Barat. Kemudian penjajahan Zionis Israel kembali terjadi tahun 1967 demi merebut tanah Al-Quds Timur dari bangsa Palestina. Penjajahan ini juga berujung pada pengusiran bangsa Palestina dari tanah air mereka sebanyak 15 ribu orang. Meskipun demikian, penggelembungan jumlah warga Yahudi dengan cara migrasi ini masih tertinggal dan bahkan menurun, karena populasi alami bangsa Arab di Al-Quds di waktu yang sama mengalami peningkatan signifikan, yaitu 3,5%, sebagaimana disebutkan oleh hasil sensus Israel.
Awal tahun 2009 jumlah warga Yahudi di Palestina mencapai 5,6 juta jiwa. Sebuah loncatan jumlah penduduk yang luar biasa. Lonjakan ini salah satunya disebabkan lahirnya perjanjian Oslo 1993. Selain itu komitmen seluruh pemerintahan Israel dari dulu hingga sekarang sama, yaitu yahudisasi Al-Quds Timur demi menghalangi keinginan bangsa Palestina menjadikan Al-Quds Timur sebagai ibukota Palestina. Demi menggagalkan realisasi mimpi ini, Israel menyerukan pembangunan perkampungan di Al-Quds Timur, mengeluarkan arahan khusus untuk bermigrasi ke Al-Quds Timur, selain itu pemerintah Israel mendorong wanita-wanita Yahudi untuk memperbanyak keturunan. Hingga tahun 2009 ini, jumlah imigran Yahudi yang menempati Al-Quds Timur mencapai 246.848 jiwa, sedangkan jumlah penduduk Al-Quds dari bangsa Arab sebanyak 310 ribu jiwa.
Para imigran Yahudi itu berpusat di Propinsi Al-Quds yang tersebar di 26 perkampungan Israel, sehingga propinsi tersebut secara otomatis menjadi penghubung antar perkampungan Zionis Israel, terutama distrik-distrik Yahudi yang didirikan di kota Al-Quds. Melihat fenomena gencarnya pembangunan perkampungan Yahudi dengan berbagai cara, kemudian didasarkan pada rata-rata pertumbuhan penduduk Arab dan strategi peningkatan kependudukan Israel di Al-Quds, tahun 2010 nanti diprediksi jumlah total penduduk kota Al-Quds mencapai 817 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut, 76% diantaranya adalah penduduk Yahudi.
Strategi Yahudisasi Al-Quds
Para pemegang kebijakan dan pengatur strategi Israel berusaha menciptakan hegemoni demografi Yahudi secara mutlak di Al-Quds. Hal ini disampaikan berulang kali dalam beberapa kesempatan oleh Ariel Sharon, "Bangsa Yahudi harus menghegemoni kota Al-Quds, ibukota abadi Israel. Kita harus berjalan dan berpandangan jauh bahwa di Al-Quds Raya akan ada sejuta Yahudi." Hal yang sama juga disampaikan oleh mantan PM Isrel Ehud Olmert, bahwa Israel harus mengupayakan dengan segala cara agar penduduk Yahudi yang ada di Al-Quds bisa mencapai 88%, di saat bangsa Palestina mengalami penurunan populasi penduduknya hingga 12% di tahun-tahun mendatang.
Berbagai cara ditempuh Zionis Israel untuk agenda yahudisasi Al-Quds. Diantaranya mereka juga melirik pertumbuhan natural dengan menyerukan kepada wanita-wanita Yahudi di Al-Quds memperbanyak keturunan, membuka pintu migrasi besar-besaran bagi Yahudi Eropa agar hijrah ke Palestina, dan Zionis Israel juga menyiapkan strategi keji dan biadab yaitu pengusiran warga Palestina secara diam-diam, atau menghilangkan legalitas tinggal di tanah air mereka dengan menerapkan cara-cara birokratis: pertama, apabila warga Palestina tinggal di luar Al-Quds 7 tahun berturut-turut, kedua, ketika mempunyai kewarganegaraan lain, dan ketiga, ketika izin tinggalnya terdaftar di negara lain.
Penerapan strategi ini mengancam puluhan ribu penduduk Palestina yang selama ini meninggalkan kampung halamannya. Mereka yang berhijrah karena dipaksa keluar oleh Zionis Israel terancam tidak bisa kembali. Padahal berulang kali siaran TV chanel Al-Jazirah menayangkan kondisi rakyat Palestina di pengungsian, mereka mempunyai harapan besar untuk bisa kembali ke tanah air kelahiran mereka. Namun harapan itu terlihat pupus melihat relitas yang tengah terjadi di tanah air mereka. Sumber-sumber informasi Israel menyebutkan, bahwa penerapan strategi ini diprediksi akan mengancam hangusnya identitas warga Palestina yang berada di luar Palestina. Mereka ditaksir berjumlah 50-60 ribu orang akan terusir dari tanah Al-Quds atau dipaksa tinggal di luar Al-Quds. Masihkan kita terdiam? Mari selamatkan Al-Quds wahai umat Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.
Profil Penulis: Ahmad Musyafa’, Lc.. Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Dakwah dan Wawasan Ke-Islam-an. Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI) masa juang 2008-2010. email: [email protected]