Raden Wijaya menyambut kehadiran sebagian dari pasukan Dinasti Yuan itu di tempat persembunyiannya, sebuah wilayah kecil yang bernama Majapahit.
Ia dan sahabatnya, Arya Wiraraja dari Sumenep, membantu tentara Tiongkok menyusun rencana menangkap Jayakatwang.
Operasi penggulingan Jayakatwang berhasil. Ia konon ditawan lantas dibunuh di atas kapal Tiongkok. Tak diketahui pasti apa yang kemudian terjadi dengan jasadnya. Tak pernah ada catatan mengenai dimana kuburannya.
Bala tentara Tiongkok bergembira. Raja Jawa yang menghina tahta Negeri Tengah telah dihabisi. Penguasa baru di Jawa telah memperlihatkan tanda-tanda kesetiaan pada Kublai Khan.
Dalam riwayat yang populer disebutkan, bala tentara Tiongkok ini merayakan kemenangan dengan pesta pora yang sedemikian rupa sehingga membuat mereka tidak menyadari rencana lain yang dimiliki Raden Wijaya dan Arya Wiraraja.
Konon disebutkan, dalam sekali gebrak, pasukan koalisi Raden Wijaya dan Arya Wiraraja mampu membantai pasukan Dinasti Yuan yang sedang mabuk arak.
Mereka yang selamat lari tunggang langgang, naik ke kapal-kapal mereka yang parkir di daerah Tuban dan kembali ke Tiongkok.
Sampai di Beijing mereka menemukan kenyataan baru: Kublai Khan wafat di bulan Februari 1293. Akibatnya, untuk sementara mimpi menaklukkan Pulau Jawa pun dihentikan.
Sementara itu, setelah berhasil mengusir pasukan Tiongkok, Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit di bulan November 1293. Pusat kekuasaannya di sekitar Mojokerto kini.
Adapun Arya Wiraraja mendapatkan Madura dan hidup berdampingan dalam damai dengan Majapahit untuk waktu yang cukup lama.
Berbagai catatan menggambarkan Mapahit berkembang sebagai sebuah negeri yang gemilang. Berkuasa hingga ke negeri Campa dan negeri-negeri lain di sekitarnya.
Di era Jayanagara yang berkuasa dari tahun 1309 sampai 1328, pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Trowulan. Lalu di era Brawijaya III, di paruh kedua abad ke-15 pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Kediri.
Tetapi memasuki abad ke-16 pengaruh Majapahit semakin berkurang.
Raden Patah yang merupakan anak dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, dengan putri Campa, Siu Ban Ci, telah muncul sebagai penguasa Jawa yang baru. Ia memimpin negeri di pesisir utara Laut Jawa, Demak.
Sejarawan Slamet Muljana dalam salah satu karyanya, menggambarkan episode ini sebagai peralihan dari akhir era kerajaan Hindu Jawa dan awal era kerajaan Islam Nusantara.
“Politik Klenik” Masa Kini
Rasanya sulit mencapai titik akhir ketika membahas kisah lahir dan mati kerajaan-kerajaan yang pernah ada di negeri ini.
Satu per satu kerajaan itu lahir, mencatat kegemilangan, rusak oleh pertikaian dan peperangan, lalu mati dan digantikan dengan kerajaan yang baru, yang elitnya seringkali adalah keturunan dari elit di era kerajaan sebelumnya.
Apakah kisah kejatuhan demi kejatuhan rezim ini yang membuat kota Kediri jadi dianggap angker bagi penguasa?
Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, adalah yang pertama kali bereaksi mendengar alasan Pramono Anung meminta Jokowi tidak datang ke Kediri.
Syahganda Nainggolan dan Pramono Anung sama-sama alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
“System thinking dan konsep teknologi menempatkan fakta sebagai basis analisis. Aneh sekali kalau Pramono Anung, tokoh alumni ITB, percaya klenik dan tahayul,” protes Syahganda Nainggolan.
“Kecuali dia (Pramono Anung) ingin memberitahu kita bahwa Jokowi saat ini lemah,” sambungnya.
Protes juga disampaikan Adhie Massardi.
Adhie yang sampai kini masih dikenal sebagai jurubicara Gus Dur, mengatakan, kejatuhan Gus Dur di tahun 2001 tidak ada kaitannya dengan kunjungan ke Lirboyo, Kediri.
Gus Dur jatuh, sebutnya, sebagai resultan dari konflik kepentingan politik dengan wakil presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri yang sampai kini adalah Ketua Umum PDIP.
Bukan karena dipotong oleh Poros Tengah yang dikomandoi Amien Rais?
“Bukan,” jawab Adhie.