Wahai Pejabat, Jaga Mulut!

Dan ada baiknya para pejabat itu ingat kembali seruan: kerja, kerja, kerja! Jangan terlalu banyak ngomong. Apalagi tentang hal yang tidak didasari keilmuan yang cukup dan kemampuan komunikasi amburadul.

Akhirnya pejabat dituntut mampu membuat kebijakan-kebijakan publik yang penting dan membawa manfaat umum ke publik. Pengaturan suara dari masjid baik itu azan, sholawat, dan lain-lain ada kebijakan yang tidak perlu.

Azan, lonceng, dan semua suara-suara dari rumah ibadah telah menjadi tradisi kehidupan masyarakat yang telah diterima. Apalagi disadari bahwa itu kegiatan ritual agama yang diakui. Karenanya yang perlu adalah “penerimaan” (acceptance) melalui saling memahami (understanding) dan menghormati (respect). Itulah esensi toleransi.

Jika hal-hal seperti ini diatur secara formal maka tidak perlu lagi toleransi antar Umat beragama. Karena memang yang demikian sudah sebuah pengaturan formal dari otoritas.

Dan kalau alasan pengaturan ini adalah menjaga “perasaan” mereka yang berbeda maka ini runyam bagi upaya membangun relasi harmoni antar Umat ke depan. Ketika umat Kristiani akan bangun gereja, atau beribadah di sebuah lokalitas haruskah dibatasi karena ada perasaan tidak enak dari warga lain?

Karenanya sebelum membuat kebijakan berpikirlah. Dan yang terperpenting cari masukan dari semua stakeholder (tokoh agama khususnya) biar tidak nampak otoriter. Kecuali memang kalau ingin dianggap kuat dan “pintar” untuk menutupi kebalikannya.

Lelah bangsa ini dijadikan ribut oleh sebagian pejabatnya sendiri!  NYC Subway, 24 Februari 2022. (FNN)