Wahai Pejabat, Jaga Mulut!

Dan pastinya akan sensitif dan sangat disayangkan ketika kata atau pernyataan itu keluar dari mulut seseorang yang terlanjur menjadi figur publik (public figur). Apalagi jika figuritas itu karena sebuah posisi publik, khususnya para pemimpin negeri.

Oleh: Imam Shamsi AliPresiden Nusantara Foundation

SAMBIL menikmati pergerakan kereta api bawah tanah (Subway) di kota New York saya mencoba membaca beberapa highlights (breaking news) baik domestik maupun di dunia global. Pada tataran global, Rusia saat ini secara membabi buta menyerang Ukrain secara masif. India terus melakukan ragam kezholiman kepada Umat Islam. Uighur dan Rohingya masih dalam penderitaan panjang. Kashmir apalagi Palestina menuju masa depan yang nampak semakin kelam.

Dalam negeri tercinta Indonesia juga mengalami berbagai kekisruhan, tidak secara fisik. Tapi secara lisan, tulisan yang melibatkan emosi massa. Terjadi peperangan dahsyat di dunia maya tentang banyak hal. Dari tuduhan membenarkan KDRT oleh seorang penceramah, pengharaman wayang juga oleh seorang da’i dan kounter wayang yang menghina da’i, hingga ke masalah pembesar suara dari masjid-masjid yang ingin diatur oleh Kementrian Agama RI.

Dan semua itu terjadi di saat masyarakat mengalami tingkatan emosio dan sensitifitas yang kritis. Semuanya dipicu juga oleh banyak hal. Dari pandemi yang belum juga berakhir, tergantung “tendensi” (kecenderungan) menempatkannnya (kadang naik, tiba-tiba biasa saja, lalu mendadak naik lagi). Hingga ke berbagai kebijakan publik yang dianggap semena-mana dari para pengambil kebijakan. Dari Mas’udi Omnibus law, UU IKN, hingga ke meningginya harga minyak goreng yang menghilang dari pasar secara mendadak.

Dan runyamnya lagi karena di tengah situasi yang tidak menentu dengan suasana emosional itu, seorang pejabat tinggi negara memberikan komentar yang bagaikan menyiram bensin ke tengah kobaran api.

Di sinilah ironisnya, tidak jarang yang juga sering menjadi pemicu ragam kekisruhan dan kemarahan itu karena pemegang otoritas negeri (pejabat) yang seharusnya menjadi tauladan justeru tidak mampu mengontrol pernyataan-pernyataannya yang insensitif.

Benarlah kata sebagian orang bijak: kata itu bisa jadi air yang menyejukkan. Tapi juga bisa jadi api yang membakar.

Hakikat inilah diingatkan secara tersirat tapi tegas oleh beberapa ayat Al-Quran. Dua ayat yang ingin saya kutip di bawah ini saya kira mewakili urgensi seseorang menjaga kata atau pernyataan.

Ketika Allah bersumpah dengan lisan dan bibir: ولسانا وشفتين (dan demi lidah dan dua bibir) para Ulama mengungkapkan bahwa salah satu maksud terpenting dari ayat itu adalah Urgensi menjaga kata-kata atau pembicaraan.

Demikian juga ketika Allah menggandengkan beberapa hal pokok kehidupan manusia di awal Surah Ar-Rahman. Satu yang terpenting di antaranya adalah urgensi membangun komunikasi yang tidak saja benar. Tapi juga berkesesuaian (proporsional), termasuk di dalamnya menjaga sensitifitas objek pembicaraan.

علمه البيان (Allah mengajarkan al-bayaan) oleh sebagian ulama dimaknai sebagai ekspresi sosial menusia dengan alam sekitarnya. Termasuk di antaranya urgensi menjaga kata dan pembicaraan.