Wadas Kandas, Ganjar Terkapar

Kalau mau obyektif dan proposional, soal Wadas ini menarik dan unik. Ada dua esensi persoalan yang berbeda menyimutinya.

Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari

Pertama, pemerintah relatif  telah menempuh aturan main, baik secara regulasi maupun aspek sosial yang ada di masyarakat. Itu terlihat bagaimana program PLTA yang nantinya akan jadi bendungan terbesar di Asia Tenggara, begitu lama progress proyeknya karena kehati-hatian Ganjar Pranowo selaku Gub. Jateng.

Ganjar paham bentul konsep developmentalsm itu bagaimanapun baiknya bagi kehidupan negara dan rakyat tetap harus ada yang dikorbankan setidaknya ter yang dianggap gagal dan sumir. Ganjar jelas traumatic dan tidak mau ambil resiko soal wadas ini.

Kondisi diperburuk dengan kemunculan mafia atau makelar tanah yang memanfaatkan situasi  ganti untung lahan warga yang terdampak  pembangunan proyek tsb. Jadilah ini kemudian memicu dinamisnya dukungan dus  resistensi di kalawangan warga Wadas. Alhasil aroma agitasi dan propaganda juga provokasi di kalangan warga.

Kedua, meskipun secara substansi kelangsungan proyek bertahap itu berjalan baik dan relatif kondusif, terutama pembebasan lahan bukit kaya andesit dan yang akan diambil batu andesit untuk pembangunan damnya bendungan dan untuk itu diperlukan kwari penambangannya.

Sayangnya rencana teknis pengukuran lahan yang sudah dibebaskan dan disetujui warga, menggunakan pola lama aparat yaitu intimidasi dan represi aparat. Ini menjadi gejolak  dan rentan eksploitasi kampanye hitam dan pembusukan Ganjar yang sosoknya memang sudah bermasalah khususnya dan rezim Jokowi yang sudah pada tahapan ingin dimakzulkan rakyat. Publik tidak mau tahu dan enggan mengurus soal latar belakang dan perkembangan proyek senilai 9 T itu. Publik hanya bisa tahu megakumulasi dan menggeneralisir sikap apriori kebijakan rezim yang selama ini banyak kegagalan dan selalu menggunakan pendekatan keamanan terhadap masalah bangsa, terlebih soal-soal perampasan dan penggelapan aset maupun   tanah rakyat. Kekerasan oleh aparat menjadi dominan dan isu sentral yang menggeser permasalahan inti, betapapun dinamika tinggi yang terjadi di lapangan. Sepertinya entah normatif atau ada hidden agenda, Kasus Wadas meledak sekonyong-konyong oleh tindakan aparat keamanan.

Menjadi lebih menarik lagi soal peran pers terutama media mainstream yang lagi-lagi ambigu dan ambivalens menyikapinya, kalau tidak mau disebut standar ganda dalam kasus Wadas. Media mainstream  ikut asyik dan enjoy seolah mendorong agresifnya media sosial.