Wadas dan Wajah Otoritarian Rezim Jokowi

Dalam konteks demokrasi prosedural, pernyataan Mahfud mungkin ada benarnya. Namun, dalam perspektif demokrasi substansial, debatnya bisa berbeda. Demokrasi substansial melihat penegakan demokrasi pada substansinya, bukan sebatas prosedurnya. Sayangnya, pemerintah acapkali berkoar tentang demokrasi pada sisi proseduralnya.

Begitu banyak contoh yang bisa dikemukakan. UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, disebut telah memenuhi azas demokrasi. Pengajuan dari pemerintah, pembahasan di DPR, pelibatan partisipasi rakyat, dan seterusnya. Karena prosedural terpenuhi, kita seolah tak perlu memersoalkan suara rakyat yang tumpah ruah ke jalan, korban luka akibat gesekan aparat dan demonstran di lapangan, dan sebagainya.

Hasilnya cukup memalukan ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Namun kita seperti tak pernah mengambil pelajaran. Buktinya, proses yang nyaris sama kembali terulang pada pengesahan UU IKN. Pun dalam kasus Wadas.

Yang terjadi di Wadas menunjukkan wajah arogan dan otoritarianisme rezim Jokowi. Aparat bertindak represif, rakyat dicekam ketakutan. Mahfud MD menyatakan tidak ada pelanggaran, namun foto dan video yang mengindikasikan hal sebaliknya berseliweran di media sosial. Belum lagi tanggapan atau pendapat sejumlah tokoh.

Masyarakat menilai fenomena ini tak lepas dari kepemimpinan Presiden Jokowi. Tagar #JokowiSemakinOtoriter melambung dua hari di twitter, dan negara menjadi tersangka utama. Penilaian masyarakat ini mempertegas pendapat LP3S.

Pada 2020 lalu, Direktur Center for Media and Democrasi LP3ES Wijayanto menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme melalui sejumlah kebijakan. Pendapat ini merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.

Penanda yang paling mengkhawatirkan adalah kian meluas dan dominannya peran institusi keamanan. Beberapa lembaga negara bahkan dipimpin perwira polisi, baik yang masih aktif atau purnawirawan. Di saat yang sama ruang kebebasan sipil semakin mengkerut dan pengap, sementara fokus khalayak diombang-ambingkan dari satu masalah ke masalah lainnya.

Kini, isu wadas mulai mereda menyusul Langkah Kapolda Jawa Tengah Irjen Polisi Ahmad Luthfi menarik personelnya dari Desa Wadas. Namun, insiden di Wadas telah meninggalkan trauma dan kerenggangan antarwarga desa. Luka ini harus diobati terlebih dahulu, sembari melakukan dialog, seperti seruan Menkopolhukam. Langkah yang terlambat, namun tetap kita perlukan.

Amnesty International Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebut pengerahan pasukan ke Desa Wadas berlebihan dan melanggar HAM.

Dua lembaga ini meminta pemerintah bertanggung jawab atas insiden pengerahan pasukan di Desa Wadas. Dua nama disebut secara khusus, yakni Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ganjar telah banyak mengeluarkan pernyataan. Tetapi tidak dengan Jokowi.

Mungkin, ada baiknya Jokowi berdialog dengan rakyatnya. Bukan melulu melempar kaos ke hadapan mereka. (FNN)