Vonis Lepas Pembunuh Laskar FPI Apakah Pantas?

Antara alasan “pemaaf” dan “pembenar” memiliki ‘kamar’ yang berbeda dan oleh karenanya ayatnya juga berbeda. Perihal “pembelaan terpaksa melampui batas” termasuk ‘kamar kedua’ dan oleh karena itu ditempatkan pada ayat (2) Pasal 49 KUHP. Logika hukumnya, bagaimana mungkin “pembelaaan terpaksa melampui batas” dimasukkan juga ke dalam ‘kamar kesatu’ (in casu ayat 1 Pasal 49 KUHP). Disini letak kontradiksi penggabungan kedua alasan penghapus pidana tersebut. Ketika dua alasan tersebut dimasukkan dalam satu kondisi, maka didalamnya terbenih kondisi yang lainnya (in casu “pembelaan terpaksa”).

Pada yang demikian itu menimbulkan implikasi bahwa pembelaan diri dalam rangka “pembelaan terpaksa” harus memenuhi syarat “tiada jalan lain” untuk menghindarkan dirinya kecuali harus melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, sedapat mungkin dilakukan upaya menghindar. Ketika upaya menghindar tidak dapat dilakukan, maka barulah “pembelaan terpaksa” dapat dilakukan. Tegasnya upaya menghindar merupakan suatu keharusan.  Disini dipertanyakan apakah memang benar “tiada jalan lain” untuk menghindar? Bukankah masih ada kesempatan untuk menghentikan mobil, untuk kemudian diambil tindakan seperlunya.

Kemudian menyangkut sifat pembelaan itu sendiri, dipersyaratkan harus proporsional. Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan yang dialami. Tidak dapat dibenarkan pembelaan melebihi (melampui) dari serangan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiariteit. Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Kembali dipertanyakan, mengapa Terdakwa tidak menggunakan kesempatan guna sekedar melumpuhkan dengan tembakan yang tidak mengarah pada kematian?

Sejatinya alasan “pemaaf” maupun “pembenar” penerapannya ditujukan bagi pihak yang berpotensi sebagai korban tindak pidana. Dengan demikian, korban yang melakukan “pembelaan terpaksa” atau “pembelaan terpaksa melampaui batas”, sesuai dengan kualitasnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Pada perkara a quo, Terdakwa bukan termasuk kualifikasi yang demikian. Terdakwa tidak mengalami “keguncangan jiwa yang sangat hebat” atau mengalami “tekanan jiwa yang hebat”. Perihal “keguncangan jiwa yang sangat hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”, sehingga tidak berfungsinya akal atau batin secara normal yang disebabkan suatu serangan sebagaimana didalikan adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin didalilkan adanya serangan yang “menggoncangkan jiwa secara hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”, ketika para laskar FPI justru dalam penguasaannya.

Terdakwa dengan kepemilikan senjata api adalah berbeda kualitasnya dengan laskar FPI yang tidak bersenjata. Dalil bahwa laskar FPI mencekik, mengeroyok, menjambak dan merebut senjata milik Terdakwa, sangat jauh untuk menjadi dalil “keterguncangan jiwa yang sangat hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”. Jika memang benar kondisi demikian, maka menjadi pertanyaan serius mengapa tidak dilakukan tindakan pelumpuhan dengan penembakan tertentu yang tidak mematikan.