Seperti de javu, demonstrasi ini mengingatkan saya ketika institusi negara mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Para mahasiswa turun ke jalan memenuhi depan Gedung DPR/MPR. Waktunya persis sama pada bulan September.
Tagar anak STM pun sempat meramaikan jagat dunia maya, ketika para pelajar ikut bentrok dengan aparat keamanan. Korban pun akhirnya berjatuhan. Di Kendari, dua mahasiswa Randi dan Yusuf tewas terkena peluru tajam yang diduga dari aparat, pun di Jakarta. Namun pengorbanan para demonstran itu tak membuat pemerintah membatalkan revisi aturan tersebut. UU KPK hasil revisi tetap berjalan.
Tergesa-gesa
Sebetulnya bukan kali ini saja, para aktivis, buruh maupun ormas menyuarakan penolakan pengesahan UU Cipta Kerja. Ada beberapa alasan mengapa aturan ini dipersoalkan. Pertama, aturan ini dikhawatirkan akan membuat posisi buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Belum lagi persoalan pegawai kontrak yang menjadi momok buat para buruh.
Kedua, pemerintah maupun DPR terlalu terburu-buru dalam membahas aturan ini. Belum ada sosialisasi yang masif ke kalangan buruh maupun aktivis tentang isi dari UU Cipta Kerja ini. Apakah UU akan membuat ‘Cilaka’ atau menambah kesejahteraan.
Alih-alih melakukan sosialisasi, dan berdiskusi untuk mematangkan isi beleid, pemerintah dan DPR tetap memaksakan agar aturan ini segera disahkan. Para pejabat seperti tak peduli dampak yang ditimbulkan dari pengesahan aturan yang dilakukan secara terburu-buru.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti dalam satu pernyataan ke jurnalis mengatakan, pembahasan aturan ini cenderung tergesa-gesa dan diam. Muhammadiyah sejak awal menyarankan agar aturan ini ditunda dulu sambil terus menunggu masukan dari masyarakat.
Ketiga, pembahasan aturan Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan di tengah pandemi Covid-19 dinilai kurang pantas. Pemerintah sejatinya tetap fokus untuk menyelesaikan badai Covid-19 terlebih dahulu daripada menyegerakan aturan ini.