Dulu, ketika Pak Harto berkuasa, dia membuat utang senilai US$48,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata positif 6% selama 32 tahun. Di awal-awal pemerintahannya bahkan sempat tumbuh di kisaran 8%. Pemerintahan Habibie memerlukan US$19,6 miliar gna mengangkat perekonomian dari -9% ke minus -4,5%. Di era Gus Dur, mampu mengurangi utang US$4,15 miliar dan mendongkrak ekonomi minus dari -4,5% jadi 4%. Presiden Megawati berutang US$64,39 miliar agar ekonomi tumbuh di kisaran 4% selama tiga tahun. Pemerintahan SBY memerlukan US$158,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% hingga 6% selama 10 tahun.
Dan terakhir, pemerintahan Jokowi butuh US$133 miliar hanya dalam tempo tiga tahun (!). Hasilnya, ekonomi hanya berkutat di angka 5%. Berbekal data tersebut, kinerja terbaik terjadi pada era Presiden Gus Dur. Ekonomi tumbuh dari -4,5% menjadi 4% alias 8,5%. Pada saat yang sama, utang pemerintah justru berkurang. Ternyata, Indonesia pernah bisa membangun tanpa menambah utang, bahkan berkurang. (Catatan; Menko Perekonomiannya saat era Gus Dur adalah Dr. Rizal Ramli)
Hebatnya lagi, growth tadi sangat berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dibagi dengan adil bagi seluruh masyarakat. Indikatornya, koofisien rasio Gini turun ke 0,31. Ini adalah rekor terendah Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir. Dulu, Soeharto pada 1993 pernah menekan Gini Ratio ke titik 0,32. Bedanya, rezim Suharto perlu 26 tahun (1967-1993) untuk menurunkannya dari 0,37ke 0,32. Sedangkan tim ekonomi Gus Dur cuma perlu waktu kurang dari dua tahun (1999-2001) untuk menurunkan dari 0,37 ke 0,31.
Ada sejumlah langkah yang ditempuh tim ekonomi Gus Dur dalam mengelola utang dan membangun negeri. Antara lain melalui teknik debt swapt dan restrukturisasi. Strategi lain, melakukan revalusasi aset dan sekuritisasi aset. Khusus dua teknik terkakhir sebenarnya sudah sering disampaikan Presiden Jokowi. Sebagian kalangan bahkan menyebut revaluasi aset dan sekuritisasi aset sebagai bagian dari Jokowinomics. Sayangnya, tim ekonomi Presiden lebih asyik dengan program dan agendanya masing-masing.
Sebaliknya, apa hasil dari hobi utang yang terus digenjot oleh Sri bagi negeri ini? Secara makro, pertumbuhan ekonomi enggan beringsut dari 5%. Ini jauh dari kebutuhan yang seharusnya. Lapangan kerja tetap saja terbatas. Memang ada bahkan banyak, tapi sebagian besar diisi oleh pekerja impor dari Cina. Daya beli masyarakat terus terjun, impor barang konsumsi melonjak-lonjak sehingga industri lokal sempoyongan, dan jumlah penduduk miskin bertambah. BPS mencatat, jumlah jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017, atau naik sekitar 10.000 orang dibanding September 2016 yang 27,76 juta orang.
Dengan fakta-fakta seperti ini, akankah Indonesia terus berutang? How high can you go? Ingat, jumlahnya terus dan kian menjulang dan makin mengerikan. Atau, kalau boleh ganti pertanyaan, masih perlukah Menkeu seperti ini terus dipertahankan?. (kl/ts)
Penulis: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)