USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-3)

eramuslim.com

By Prof Dr OK Saidin SH MHum

Di bagian ke-2 tulisan ini telah dikatakan bahwa sulit untuk mengatakan Dr Muryanto Amin tidak melanggar etika publikasi. Dan sulit pula untuk mengatakan keputusan rektor USU (periode 2016-2021) No. 82/UN5.1R/SK/KPM/2021 yang menyatakan bahwa Muryanto terbukti melakukan ‘self plagiarism’, adalah keputusan keliru.

Selain menemukan Perkep LIPI 5/2014 dan Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1, Komisi Etik (KE) USU juga mencari peraturan-peraturan lain yang senada dengan itu. KE memulai upaya untuk mencari hukum tersebut. Bagaimana pengaturan tentang itu pada perguruan tinggi lain dalam menyikapi peristiwa yang sama. Jika faktanya ada, perbuatannya ada dan bahkan aturannya ada, hanya saja tidak tegas, maka para ahli dan praktisi hukum boleh memberi tafsir obyektif dan konkrit yang dibenarkan dalam ilmu hukum yakni Tafsir Analogi. Berikut beberapa contoh.

Pertama, Universitas Indonesia (UI). Berdasarkan keputusan Rektor UI No. 208/SK/R/UI/2009 tentang penyelesaian masalah plagiat yang dilakukan oleh sivitas akademika UI, di Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa plagiarisme adalah tindakan seorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain yang digunakan dalam tulisannya seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran dan/atau tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain baik material maupun non material, dapat berupa pencurian sebuah kata, frasa, kalimat, paragraf atau bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku seseorang, tanpa menyebut sumbernya. Termasuk dalam pengertian plagiarisme adalah plagiarisme diri (self plagiarism). Plagiarisme diri adalah tindakan seorang yang menggunakan karyanya berulang-ulang, baik ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisannya sendiri baik sebagian maupun keseluruhannya tanpa menyebutkan sumber pertama kalinya yang telah dipublikasikan, sehingga seolah-olah merupakan ide, pikiran dan/atau tulisan yang baru dan menguntungkan diri sendiri.

Kedua, peristiwa di lingkungan sivitas akademika perguruan tinggi agama Islam. Pihak Kementerian Agama menerbitkan aturan yang dimuat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7142/2017 tentang pencegahan plagiarisme di perguruan tinggi Islam. Dijelaskan di butir D (ketentuan plagiarisme) angka 2 (tipe-tipe plagiarisme), huruf (d) bahwa self plagiarism adalah salah satu tipe plagiarisme. Yang termasuk dalam tipe plagiarisme itu adalah: (a)-Plagiat kata demi kata. Penulis menggunakan kata‐kata penulis lain (persis) tanpa menyebutkan sumbernya; (b)-Plagiat atas sumber. Penulis menggunakan gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan yang cukup (tanpa menyebutkan sumbernya secara jelas); (c)-Plagian kepengarangan. Penulis mengakui sebagai pengarang karya tulis karya orang lain; (d)-Self Plagiarismyang termasuk dalam tipe ini adalah seperti penulis mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah. Yang penting dalam menghindari self plagiarism adalah bahwa ketika mengambil karya sendiri, maka ciptaan karya baru yang dihasilkan harus memiliki perubahan yang berarti. Artinya karya lama merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan. Sehingga pembaca akan memperoleh hal baru, yang benar‐benar penulis tuangkan pada karya tulis yang menggunakan karya lama. .

Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Di samping penafsiran analogi, sumber hukum yang lain yang dirujuk adalah doktrin atau pendapat ahli. Semua ahli mengatakan bahwa perbuatan self-plagiarism adalah suatu perbuatan yang masuk dalam kategori pelanggaran norma dan etika akademik. Dr Henry Soelistio Budi, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan yang juga pakar hukum bidang plagiat mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Dr Muryanto Amin adalah termasuk dalam kualifikasi perbuatan self-plagiarism, yaitu mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah.

Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Komisi Etik juga menelusuri kasus-kasus yang pernah terjadi di lingkungan USU sebagai jurisprudensi dalam kasus yang sama. Komisi Etik menemukan: (a)-Keputusan Rektor USU No.30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiat (plagiat antar jurnalnya sendiri) a.n. Dr Maulida ST MSc; (b)-Keputusan Rektor USU No.149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiasi (autoplagiasi) a.n. Drs Arifin Lubis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda itu bukan peristiwa yang baru. Bukan juga perbuatan yang dibenarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda, seumpama keukeuh yang sudah kadaluwarsa yang diberi label bertanggal baru. Itu kejahatan luar biasa yang tidak terampuni. Senada dengan perumpamaan itu, meminjam istilah Dr Henry Soelistyo Budi, self- plagiarism adalah kejahatan tak berdarah dalam dunia akademik. Bahkan ilmuwan terkemuka di Indonesia Fachry Ahli dalam accountFacebook-nya, tanggal 20 Januari 2021, dengan mengutip pandangan Pro R William “Bill” Liddle mengatakan bahwa “aksi plagiat tak terampuni di dunia akademis tempatnya di “intib” (kerak) neraka. Lebih lanjut Fachry menggambarkan betapa kehidupan akademis harus jujur secara paripurna. Bahkan self-plagiarism(mengajukan tulisan lama sebagai tulisan baru atau penelitian baru) disebutnya sebagai sebuah kejahatan fatal.

Rocky Gerung menyebutnya sebagai perbuatan incest, perkawinan sedarah. Perbuatan ini membuat perguruan tinggi mandek, tidak berkembang karena karya yang ditampilkan itu-itu saja, tak ada ide baru, tak ada gagasan baru, tak ada inovasi. Perbuatan itu lebih pada upaya untuk pencitraan, untuk kum kenaikan pangkat.