Gara-gara surat ini, Ruslan berurusan dengan kepolisian. Kemarin, 28 Mei 2020, dia dibawa polisi. Penangkapan ini sangat ‘high profile’. Sampai-sampai Densus 88 ikut turun. Ada sejumlah pamen polisi dan militer yang mendatangi rumahnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Nah, bisakah dipercaya bahwa Ruslan sedang melakukan ‘perlawanan politik’? Mungkinkah ada ‘X-factors’ dalam drama ini?
Bagi saya pribadi, saya bersangka baik saja. Saya yakin Ruslan adalah bagian dari banyak orang, bisa jutaan atau puluhan juta, yang sedang resah melihat cara negara dan pemerintahan dikelola. Kalau jutaan orang lainnya memilih diam membisu dalam ketidakberdayaan, Ruslan tampil beda. Dia langsung ‘menghadap’ Jokowi. Bisa dipahami. Di dalam dirinya pastilah masih mengalir berliter-liter darah yang tak mengenal takut.
Karena itu, saya tidak skeptis tentang motif Ruslan. Saya tak percaya ada ‘faktor-faktor X’ yang memantik perlawanan politik warga Kecamatan Lede ini. Menurut hemat saya, Ruslan memang murni merasa tak nyaman dengan situasi akhir-akhir ini. Mungkin dia telah melakukan observasi yang serius dan panjang terhadap hiruk-pikuk politik Indonesia.
Sangat mungkin pula, Ruslan telah mengumpulkan banyak catatan buruk tentang penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, tentang keanehan-keanehan yang terkait dengan investasi China. Tentang tenaga kerja China yang masuk ke negara ini dengan legal maupun tidak legal. Tentang utang yang menumpuk. Tentang jebakan utang China. Dan tentang pengaruh China yang semakin besar di Indonesia.
Boleh jadi Ruslan mengikuti berita, laporan, komentar, dlsb, mengenai makin banyaknya impor produk makanan, pertanian, dan manufaktur yang datang dari China. Sehingga, seperti dikatakan banyak orang, Ruslan pun berkesimpulan bahwa apa saja yang diperlukan Indonesia didatangkan dari China. Sehingga pula, kedaulatan negara ini bagaikan berpindah ke genggaman China.
Bisa jadi juga Ruslan banyak mengamati diskusi dan diskursus tentang komunisme dan gejala kebangkitan PKI di negeri ini. Tentang sisa-sisa PKI yang semakin percaya diri, dll. Tentang pemameran lambang atau simbol PKI dan komunisme yang semakin sering terjadi. Di berbagai pelosok negeri.
Mungkin pula Ruslan ikut mengamati ketimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan. Boleh jadi mantan tentara ini sependapat dengan banyak orang bahwa hukum hanya dibuat untuk mengikat rakyat jelata. Tidak untuk elit politik dan elit ekonomi-bisnis. Tidak untuk para pengusaha dan konglomerat rakus yang mengeruk kekayaan Indonesia tanpa syarat, tanpa batas.
Barangkali, semua ini membisikkan kekhawatiran ke telinga Ruslan. Yang kemudian, mungkin, menggiring pikirannya untuk menyimpulkan bahwa kedaulatan rakyat atas NKRI ini sedang terancam. Wallahu a’lam.
Lantas, apakah Ruslan Buton sendirian? Tampaknya tidak. Sekarang ini sudah bermunculan tagar-tagar yang bertajuk dukungan untuk Pak Kapten. (*)