Umbar Hasutan Di Balik Reklamasi Ancol

Kebalikan dari Ahok yang justru merubah pendukung yang digadang sebagai garis netral, lurus, dan toleran, malah menjadi ekstrem dan radikal intoleran terhadap kelompok Islam khususnya. Vonis penista agama adalah fakta nyata.

Sementara itu adalah fakta pula bila Anies mampu membangun kesetaraan warga segala golongan, miskin dan kaya tidak menjadi tolok ukur sosial kepemimpinannya. Di acara Imlek atau Cap Go Meh warga Tionghoa Jakarta, Anies nggak pernah absen. Tokoh Tionghoa seperti Eddie Kusuma, Didi Dawis, Teddy Sugianto juga Murdaya Poo bisa dikonfirmasi hal ini.

Lucunya Zeng menyelipkan sinisme agenda Formula E yang ditunda itu. Zaman now masih pakai julukan borjuis, padahal itu ditujukan untuk promosi pariwisata dan kampanye udara bersih dari polusi kendaraan karena memakai energi baterai.

Reklamasi Ancol jelas bukan termasuk tolok ukur index better life people’s tetapi termasuk peningkatan pengembangan fasilitas sarana pengunjung Ancol. Nggak guna nyinyir melebar ke arah yang keliru cara bandingnya.

Merendahkan moralitas warga Jakarta dengan teks cukup disogok rumah ibadah dan museum, semakin menunjukan bagaimana Zeng bukan bagian yang memahami index better life people’s.

Pemprov atau gubernur dan wagub nggak pernah kongkalikong dengan DPRD dalam urusan “Dasar Hukum”. Fitnah. Yang ada pembahasan atau agenda rapat sesuai kebutuhan masalahnya.

Jangan bilang kapitalisme kalau komunisme pun membangun negaranya dengan mekanisme kebutuhan kemajuan pembangunan.

Soal HPL di Reklamasi Ancol itu tentu hak pemprov dan pengelola Ancol menunjuk mitra yang mumpuni dan kredibel, mau Aguan atau Tommy Winata atau Jusuf Kalla bahkan Jusuf Hamka pun tidak perlu dinyinyirkan.

Daripada menjadi bagian pengumbar hasutan di balik Reklamasi Ancol yang pastinya okay itu, ada baiknya turut berdoa agar bila telah selesai nanti Zeng bisa ajak Edot Daeng Ratte nenikmatinya. (end)

(Penulis: Adian Radiatus, Pemerhati sosial dan politik)