Kita simak sedikit konten kekerasan GoT. Di salah satu adegan, Cercei Lannister mengucapkan dua kalimat yang memperingatkan bahwa dalam perebutan kekuasaan, yang akan terjadi adalah “kalau tak menang, berarti mati”.
Cercei mengtakan kepada Eddard, “When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.” (Ketika kau mau merebut tahta, itu berarti kau menang atau mati. Tidak ada di antara itu).
Ucapan ini menjadi terkenal di kalangan penggemar GoT. Dan memang inilah karakteristik utama serial yang “bagus” itu. Themanya memang kekerasan dan hidup tanpa aturan moral.
Hampir pasti, pidato Jokowi di forum IMF-WB itu dituliskan oleh tim “ghost writers” (penulis anonim) beliau. Saya menjadi ingin tahu apakah konten pidato tsb sempat dibahas oleh Pak Jokowi sebelum beliau menyampaikannya. Semoga saja iya. Kalau tidak, saya kira penulis pidato dan para editornya sangat tak sensitif terhadap ke mana thema GoT itu akan diasosiakan khalayak ketika menyaksikan Jokowi mengutip cerita “perebutan kekuasaan” itu.
Ketika kebetulan menyaksikan Jokowi berpidato, saya langsung teringat dengan apa yang dikatakan oleh Cercei Lannister kepada Eddard. Bahwa dalam pertarungan untuk menjadi raja, hanya ada dua pilihan: menang atau mati. Saya menjadi merinding juga ketika mencari jawaban mengapa GoT dikutip panjang-lebar di dalam pidato Jokowi.
Para hadirin di Bali memang banyak yang senang dan “upbeat”. Mereka tepuk tangan karena Jokowi menyindir negara-negara besar yang ditunggangi oleh hasrat untuk menguasai dunia. Tetapi, saya yakin pidato GoT itu juga tertuju ke situasi politik domestik.
Artinya, orang yang paham cerita Game of Thrones dengan kutipan Cercei Lannister di atas, akan membayangkan pilpres ini adalah pertarungan “you win or you die”. Menang atau mati. Frasa ini sangat kental dengan tafsiran “pokoknya saya harus menang”. Tidakkah ini menyeramkan? Bagi saya, sangat! Apalagi thema GoT itu “diperkenalkan” oleh Pak Jokowi sebagai capres petahana.
Mengapa mereferensikan Game of Thrones sangat menyeramkan? Karena di film televisi ini, masalah-masalah kecil pun acapkali diselesaikan dengan pedang. Berkelahi fisik dan memenggal kepala lawan adalah proses peradilan. Kekuatan dan kebrutalan adalah hukum.
Jadi, di tengah suasana frontal antara kubu Jokowi dan Prabowo saat ini, sangatlah tidak arif mengutip cerita Game of Thrones. Sebab, pidato Jokowi di Bali itu juga bisa terarahkan ke kontestasi pilpres yang sekarang ini semakin “keras”. Orang bisa merasakan besitannya.
Seolah memberikan isyarat bahwa pilpres 2019 adalah pertarungan hidup-mati. Dalam makna yang mengerikan. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan.
Juga akan sangat memprihatinkan kalau anak-anak milenial Pak Jokowi ingin tahu dan ingin menonton serial yang direferensikan oleh panutan mereka. Saya berharap, agar para pengikut PSI tidak membuat inisiatif nobar Game of Thrones. Sebab, film ini tidak lebih baik dari film-film biru.
Sedikit untuk Pak Prabowo, menurut istilah Hasto Krityanto bahw pidato di depan IMF-WB itu membuat Jokowi menang 5-0. Kalau saya melihatnya malah sedih. Pidatonya mengiklankan film yang penuh kekerasan, amoralitas, dan kehidupan primitif.
Lebih dari itu, pidato yang membawa suasana Game of Thrones mencerminkan “besieged mentality”. Mentalitas terkepung. [swa]
*) Penulis: Asyari Usman, wartawan senior