Oleh : Abu Zahro (Aktivis Gerakan Dakwah)
Dinamika dakwah menggeliat seiring dengan gagalnya sistem Demokrasi yang dijajakan dan dipropagandakan oleh Para Penjajah (Amerika dan sekutu-sekutunya) melalui antek-anteknya. Bagi pengemban dakwah, “dakwah” selain dipahami sebagai kewajiban berakar pada aqidah yang kuat, juga sebagai jawaban atas gagalnya metode perubahan sosial politik apapun dalam panggung kehidupan sosial ekonomi politik yang rapuh dan bobrok. Para pengamat, politisi, negarawan, birokrat, praktisi (hukum, ekonomi, politik dll), elit politik, elit penguasa, elit pengusaha dan semua pilar masyarakat seolah kehilangan akal dari mana merajut “benang kusut” kerusakan sistemik-multidimensi yang sangat dirasakan oleh mayoritas masyarakat. Hanya golongan kafir egoistis baca “individualisme” derivat dari sistem kapitalisme sekulerisme atau golongan muslim yang terjebak dan tergerus oleh fanatisme sekulerisme tidak begitu merasakan kerusakan sistemik ini.
Penguasa (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) dan Elit Politik yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan seolah lupa akar persoalan, sebaliknya fokus pada cabang-cabang persoalan. Persoalan sistemik dianggap dan dipropagandakan sebagai persoalan kasuistis. Pendekatan pemecahan persoalan sistemik diganti dengan pendekatan sektoral yang tidak menyentuh akar persoalan. Pendekatan sektoral dianggap realistis sebaliknya pendekatan sistemik dianggap utopis. Islam Buatan Tuhan Yang Menciptakan manusia -sistem kehidupan kompleks yang mengajarkan syareah, jihad dan khilafah- tidak diyakini, sebaliknya demokrasi buatan manusia yang berakar dari aqidah sekulerisme dan lahir dari sistem kehidupan kapitalisme liberalisme menjadi bagian keyakinan yang harus diamalkan. Islam yang menaungi kehidupan manusia beragam; baik muslim & non muslim serta merealisasikan peradaban agung manusia selama berabad abad lamanya dibuat “ahistoris” (baca = tidak dipahami akar sejarah).
Para pejuang dan pembela demokrasi termasuk dari kalangan yang mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai Islam Liberal membuat tafsiran baru atas historis jejak rekam penerapan syareah khilafah penuh keagungan dengan gambaran yang menakutkan sebagaimana yang didiktekan oleh para gurunya yang melihat historis Islam dengan kacamata penuh kebencian terhadap Islam. Parahnya, profiling Islam oleh golongan Islam Liberal ini justeru diamini bahkan dilegitimasi oleh para penguasa di negeri ini yang secara faktual baik politis, ideologis, ekonomi dan budaya berada dalam cengkeraman hegemoni penjajahan Kafir Muharibban Fi’lan.
Bagaimana berbagai jamaah dakwah dan kelompok Islam yang berjuang berupaya untuk mengembalikan kemurnian islam dengan melanjutkan kehidupan islam sebagaimana yang diterapkan pada jaman Rasullullah SAW di medan perjuangan negeri-negeri muslim termasuk di Indonesia saat ini.
Negeri-Negeri Muslim sebagai Medan Perjuangan
Secara fisik, dilihat dari problematika yang dihadapi negeri-negeri muslim maka bisa dipilah menjadi 2 bagian. Bagian pertama, negeri-negeri muslim yang dinvasi secara militer oleh Kafir Muharibban Fi’lan bersama-sama dengan penguasa negeri muslim yang menjadi antek-anteknya seperti Irak, Afghanistan, Libia, Chechnya, Palestina, Suriah, Somalia, dan beberapa negara yang lain. Bagian kedua, negeri-negeri muslim yang tidak diinvasi secara militer tetapi dijajah secara politik, ekonomi, sosial budaya seperti Mesir, Tunisia, dan kebanyakan negeri-negeri muslim lainnya termasuk Indonesia. Pembagian ini dimaksud untuk melihat secara kasat mata bentuk penjajahan yang dominan dan menonjol di berbagai negeri muslim meski sebenarnya penjajahan yang dilakukan oleh Kafir Muharibban Fi’lan dengan menggunakan berbagai metode/cara yang kombinatif. Strategi invasi militer tidak berdiri sendiri tetapi dilakukan dengan intervensi politik, begitu juga sebaliknya beberapa negeri muslim yang tidak mengalami invasi militer tetap disiapkan armada militer lengkap dengan seluruh perbekalan militer yang diperlukan untuk mengamankan kepentingan geo ekonomi politik Kafir Muharriban Fi’lan. Hampir tidak ada titik strategis satupun yang tidak terback up oleh kekuatan militer/pangkalan militer sebagai pengendali utama sebuah kawasan militer. Kondisi yang terjadi di berbagai negeri-negeri muslim yang tercluster menjadi dua bagian itu menimbulkan respon amal perjuangan jama’iy dari berbagai kelompok islam dan jamaah islam menjadi dua bagian amal perjuangan jama’iy yang menonjol.
Pertama, di negeri-negeri muslim yang diinvasi secara militer, amal perjuangan jama’iy yang sangat menonjol adalah Al Jihad. Al Jihad sebagai ajaran kewajiban paling agung yang diperintahkan oleh Allah SWT melebihi kewajiban yang lain banyak dijelaskan baik di dalam Al Qur’an dan Al Hadits menjadi jawaban penyelesaian atas persoalan negeri-negeri muslim yang diinvasi militer. “Al Jihad Sabiluna” Jihad Jalan Kami adalah semboyan berakar dari aqidah Islamiyah berangkat dari pemahaman empirik sangat kompatible dengan problem yang dihadapi berbagai negeri muslim yang menjadi medan Jihad. Secara aqliah, bisalah dipahami bagaimana mungkin bisa menerapkan syareah Islam kaffah tanpa membebaskan dan mengusir para penjajah yang melakukan invasi militer dengan “Al Jihad” di negeri-negeri muslim yang diinvasi. Para Mujaheden yang mukhlis tetapi kurang pandai beretorika politik seolah memberikan sinyal bagaimana sunnahnya berjuang di medan jihad. Tinggal melengkapi bagaimana para mujaheden yang mukhlish sekaligus sebagai seorang siyasiyun yang memahami betul bagaimana kontruksi penerapan syareah islam secara kaffah dalam bingkai sistem islam baca “khilafah islamiyah” ala minhajin nubuwwah. Maka idealnya sosok para pejuang islam di daerah medan jihad ini adalah mujaheden yang siyasiyun atau seorang siyasiyun yang mujaheden. Rasullullah SAW selain sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, beliau adalah seorang panglima/amir mujahidin fi sabillillah pemimpin para pasukan/ksatria islam yang menjalankan “Al Jihad” sebagai sabiluna. Syareah, Khilafah dan Jihad adalah satu paket ajaran Islam integral yang agung tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Begitulah keyakinan yang tertanam dalam kelompok islam/jamaah islam yang menjadikan Al Jihad sebagai “Sabiluna”. Seperti semboyan menyatunya antara keinginan tegaknnya syareah dalam bingkai khilafah di satu sisi dan menggeloranya semangat Al Jihad sebagai metode satu-satunya perjuangan di Siria/Suriah/As Syam “As Syam Turid Khilafah Islamiyah”, dan “As Syam turid Al Jihad Fi Sabillillah”.
Kedua, amal perjuangan jama’iy menonjol di negeri-negeri muslim yang bukan merupakan “medan jihad” adalah pergolakan pemikiran dan politik. Meski istilah sebuah daerah/negeri terkategori medan jihad atau bukan masih dalam ruang lingkup “ijtihadiah”. Tetapi semua sepakat bahwa seluruh negeri kaum muslim saat ini termasuk Indonesia adalah “Darul Kufr”. Amal perjuangan jama’iy yang kedua ini dibagi menjadi dua pula yakni yang menjadikan demokrasi sebagai instrumen perjuangan “intra parlemen”. Dan yang tidak menggunakan demokrasi sebagai instrumen perjuangan “ekstra parlemen”. Tetapi pointnya keduanya sepakat untuk tidak menggunakan jalan “Al Jihad” sebagai thoriqoh perjuangan. Dalam pandangan kelompok yang kedua ini negeri yang tidak diinvasi, berlaku medan perjuangan politik dan pemikiran. Sehingga konteks perjuangan islam di medan yang tidak diinvasi adalah “Sira’ul Fikri” (Pergolakan Pemikiran), “Kifahus Siyasiy” (Perjuangan Politik) dan “Tholabun Nushroh” (Mencari Ahlul Quwwah). Sekalipun ada juga kelompok islam yang meyakini bahwa metode perjuangan pemikiran dan siyasiy merupakan amal jama’iy yang menjadi thoriqoh tetap di berbagai negeri muslim baik yang menjadi medan jihad maupun bukan. Kelompok islam ini memahami berdasarkan atas sebuah pengkajian mendalam baik fakta persoalan umat maupun fakta dalil, bagaimana seharusnya sebuah thoriqoh perjuangan dilaksanakan dengan mencontoh dakwah Rasullullah SAW. Kelompok Islam ini meyakini bahwa konstruksi masyarakat di Madinah yang dipraktekkan oleh Rasullullah SAW dibangun melalui desain pembangunan pemikiran dan politik. Institusi yang dibangun dan dicontohkan oleh Rasullullah SAW adalah institusi negara/pemerintahan/politik yang hanya bisa diwujudkan melalui aktifitas pemikiran (fikriyyah) dan politik (siyasiyyah). Sekalipun berbeda dengan yang menjadikan demokrasi sebagai intrumen perjuangan, jamaah islam atau gerakan islam yang ekstra parlemen juga konsen terhadap kebijakan-kebijakan penguasa dalam bentuk perundang-undangan yang merugikan umat. Upaya itu menjadi pintu masuk interaksi dengan penguasa melalui mekanisme “muhasabah lil hukam” (koreksi pada penguasa). Aktifitas muhasabah lil hukam adalah bagian dari aktifitas politik untuk mengingatkan para penguasa agar mau menerapkan syareah islam secara kaffah. Kelompok islam atau jamaah islam yang menggunakan demokrasi sebagai intrumen perjuangan tidak dikupas lebih jauh karena konteks perjuangannya sama dengan perjuangan parpol pada umumnya dalam bingkai demokrasi. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana uslub perjuangan jamaah atau kelompok islam harus dirumuskan dan diperjuangkan.
Rekonstruksi Uslub Perjuangan Politik dan Pemikiran
Dinamika perjuangan islam yang bervariatif antar berbagai gerakan dan jamaah islam seyogjanya semakin mengokohkan silah ukuwah di antara berbagai gerakan dan jamaah islam. Silah ukuwah itu untuk merealisasikan kemurnian perjuangan melanjutkan kehidupan islam dengan menerapkan islam (syareah islam) secara kaffah baik di negeri muslim sebagai “medan jihad” maupun negeri muslim sebagai “medan perjuangan pemikiran dan politik”. Salah satunya membangun pandangan yang sama merumuskan uslub perjuangan dalam rangka mengganti rezim dan sistem kufur dengan rezim dan sistem islam. Dalam konteks Indonesia, maka berbagai jamaah dan gerakan islam yang bergerak di atas thoriqoh perjuangan dakwah masing-masing harus berada dalam konstelasi kesatuan uslub perjuangan salah satunya memiliki pemahaman yang sama atas : 1. Fakta rezim dan sistem kufur yang berlaku 2. Fakta rezim dan sistem Islam pengganti dan 3. Fakta bagaimana metode perubahan atas point 1 dengan point 2 bisa dilakukan. Diperlukan rekonstruksi uslub perjuangan politik dan pemikiran yang masif untuk mempressure rezim dan sistem kufur yang berlaku sekarang semakin dekat dengan kerobohannya. Dan melakukan upaya segera mengganti dengan rezim dan sistem islam. Rekonstruksi itu haruslah memenuhi orientasi target penguatan opini dan pembesaran tubuh. Setiap langkah penguatan opini haruslah berbasis pembesaran tubuh begitu sebaliknya pembesaran tubuh haruslah berbasis penguatan opini. Pembesaran tubuh terwujud manakala muncul banyak “true believer” (pengemban militan) yang didukung oleh kesadaran umum meluas di hampir seluruh lapisan masyarakat. Yakni sebuah kesadaran umum tentang penting dan wajibnya syareah islam dterapkan secara kaffah, sebagai jawaban atas gagalnya sistem kufur demokrasi. Konstruksi pergolakan pemikiran dan politik untuk memenuhi target penguatan opini dan pembesaran tubuh bagi sebuah jamaah dakwah atau kelompok islam tidak bisa ditempuh hanya dengan moment gebyar seperti “kampanye parpol” dalam sistem demokrasi. Dimana “kampanye parpol” dalam bingkai demokrasi itu hanya berisi kerumunan massa yang tidak jelas ikatan ideologisnya. Bukan juga sekedar menghimpun segudang pernyataan sikap politik atau komitmen politik -an sich- tetapi tidak menyentuh dan menggoyang eksistensi sistem dan rezim kufur. Bukan juga, sibuk mengorganisasi sebuah panggung atau pentas konsolidasi massa dengan biaya mahal, tetapi kehilangan urgensinya sebagai panggung pergolakan pemikiran dan pergolakan politik sebenarnya. Yakni sebagai “pressure group” atas rezim dan sistem kufur dengan segala kebobrokannya. Konstruksi uslub perjuangan harusnya menjadi penguatan aktualisasi thoriqoh dakwah yang bertujuan memutus tali kepercayaan masyarakat atas sistem dan rezim kufur yang berkuasa saat ini. Bukan terkesima oleh buaian apreasi oleh penguasa sebagai sebuah jamaah yang cinta damai alias –la maadiyah- (tidak menggunakan jalan kekerasan). Sibuk membuat panggung tetapi sepi menanamkan militansi para pengembannya menghantam sistem dan rezim kufur dengan segala produk kebijakan yang rusak. Terjebak dalam skenario kanalisasi pergolakan pemikiran dan politik “zona aman” yang tidak pernah mengancam eksistensi rezim dan sistem kufur karena hanya sebatas himbauan politik bukan tekanan politik yang diperhitungkan. Masuk dalam kubangan seperti strategi kolonialisme Belanda ketika menjajah kepulauan Jawa Indonesia –huruf Jawa jika dipangku mati- artinya kultur psikologis Jawa “ketika dipuji” pasti menimbulkan tumpulnya atau bahkan matinya kreatifitas perlawanan terhadap penjajahan. Pada akhirnya diperlukan upaya introspeksi diri sebuah jamaah atau kelompok islam untuk merekonstruksi uslub perjuangan berbeda sama sekali dengan tipologi perjuangan ormas dan orpol dalam bingkai demokrasi dengan membersihkan diri para pengembannya dari perangkat-perangkat kufur sistem demokrasi dengan segala turunannya dan memformulasikan uslub perjuangan yang lebih fokus pada membesarkan tubuh berbasis penguatan opini; beranggotakan para pengemban yang beraqidah kuat, militan dan siap menanggung resiko apapun dalam belantara perjuangan merobohkan sistem dan rezim kufur demokrasi. Semoga Allah SWT segera memberikan Nashrulloh dengan tumbangnya rezim dan sistem kufur demokrasi dan tegaknnya syareah islam secara kaffah dalam bingkai khilafah ala minhajin nubuwwah. Wallahu ‘alam bis showab.