Tragedi Itu Bernama Reklamasi Teluk Jakarta

Kerusakan ekosistem ini juga dikhawatirkan saat pembangunan dan proses dredging, di mana dalam reklamasi tanah dan residu lumpur ketika melakukan reklamasi mengakibatkan penimbunan terumbu karang, habitat rumput laut, dan ubur-ubur hingga setinggi dua inci.

Studi yang dilakukan Bappenas dalam IBSAP (2016) mencatat, nilai keberadaan kawasan konservasi yang baik di Kepulauan Seribu, mampu menghasilkan nilai ekonomi keseluruhan, yaitu 79 ribu dolar AS per tahun yang diperoleh dari jasa ekosistem saja.

Eksistensi jasa terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove merupakan satu kesatuan yang bernilai ekonomi sebagai tempat pemijahan ikan, regulasi iklim, pemecah ombak, dan jasa-jasa lainnya yang tidak pernah kita hitung.


Sekali terjadi kerusakan, maka kehilangan ekosistem tersebut juga merugikan dalam jangka panjang. Kedua, kerugian sosial dapat ditimbulkan akibat pembangunan yang tidak mempertimbangkan lingkungan.

Kehilangan pencaharian dan adanya kesenjangan ekonomi, merupakan ancaman berkepanjangan yang mengakibatkan kemiskinan menyusul hilangnya pendapatan. Teluk Jakarta, kini menjadi tragedi di mana terjadi penurunan pendapatan nelayan dan jumlah tangkapan ikan.

Nelayan pun pergi lebih jauh untuk menangkap ikan dan terus akan berlanjut dari generasi ke generasi. Ketiga, reklamasi di laut merupakan high cost living karena pulau nantinya tidak berdiri sendiri dengan ketersediaan sumber daya air tanah.

Untuk menyediakan air bersih saja harus tersedia pabrik desalinasi air yang memerlukan investasi jutaan dolar AS. Kecuali, pengembang berniat menggunakan energi terbarukan.

Manakala energi yang akan diperlukan untuk pengolahan tersebut berasal dari energi berbasis fosil yang tinggi beban emisinya, sudah pasti kontraproduktif pada upaya mengurangan emisi yang mengakibatkan pemanasan global.

Pada skala tersebut, pulau reklamasi akan menjadi “parasit baru” yang membebani keterbatasan sumber daya yang ada di tempat lain, seperti keperluan air bersih, transportasi, dan beban emisi yang berkontribusi pada perubahan iklim. Akhirnya, Indonesia dalam percaturan global, merupakan negara penanda tangan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) yang berkomitmen pada Aichi Target 2020.

Aichi Target memuat lima tujuan dan 20 target dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati–termasuk mempertahankan ekosistem–untuk keberlangsungan kehidupan. Dalam upaya berkontribusi pada target tersebut, Indonesia telah membuat dokumen Rencana Aksi Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia, yang menargetkan terwujudnya pengelolaan keanekaragaman hayati yang memberikan manfaat bagi semua orang.

Dengan demikian, upaya mempertahankan ekosistem alami terumbu karang dan hutan bakau di Teluk Jakarta adalah keniscayaan agar tragedi ekologis dapat dihindarkan. []

Penulis: Fachruddin M MangunjayaDosen Sekolah Pascasarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta

(jk/republikaonline)

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/167492.htm