Kedua, ingin mendapatkan dukungan dari publik. Jika saja PKS harus sendiri jadi oposisi, kalau rakyat memberikan dukungan, ini akan menguatkan daya tahan, kepercayaan diri dan juga peranannya di parlemen. Tak menutup kemungkinan setelah ambil oposisi sendirian, PKS akan dihajar oleh pihak-pihak tertentu dengan isu Islam radikal, aliran wahabi-salafi, terpapar ISIS, mengusung arabisasi, dan memperjuangkan khilafah. Dikirim 10-20 orang untuk demo setiap hari di depan kantor PKS. Pola ini sudah biasa dan rutin terjadi, terutama jelang pemilu dan ketika ada ketegangan antara PKS dengan partai yang lain. Terutama ketegangan dengan penguasa. Sampai di sini kita gak tahu, sampai kapan pola “black campaign” menjadi tradisi politik di Indonesia.
Kembali lagi soal Amien Rais dan PKS, mereka sudah clear. Pilih oposisi. Apakah ini yang menyebabkan hubungan dan komunikasi Prabowo dengan mereka jadi kaku? Kalau iya, berarti hipotesis bahwa Prabowo sedang menimbang-nimbang upaya rekonsiliasi politik semakin mayakinkan.
Meski Prabowo diindikasikan sudah ada niat dan tergoda, tapi keputusan untuk rekonsiliasi belum ketuk palu. Hambatan yang utama adalah karena PKS, sekutu partai Gerindra ini, menolak untuk gabung ke istana. Ini yang dianggap jadi beban berat bagi Prabowo. Jika dipaksakan rekonsiliasi dengan istana, Prabowo akan kehilangan kawan sejatinya, yaitu PKS. Partai yang selama lima tahun belakangan ini setia menemani Gerindra dan Prabowo dalam duka dan keterpurukan.
Masih ada waktu untuk direnungkan dan dievaluasi. Dipertimbangkan efek politiknya untuk tahun-tahun ke depan bagi nasib Gerindra. Kalau nasib Prabowo sendiri sudah selesai. Peluangnya kedepan hanya bisa jadi begawan politik dan King Maker. Dengan catatan, jika Prabowo memutuskan untuk jadi oposisi. Jika tidak? Prabowo akan jadi tokoh yang tenggelam. Karena tak lagi ada yang percaya dan mendengar ucapannya. Jika Prabowo tenggelam, Gerindra pun tak menutup kemungkinan akan tenggelam juga. Sebab, Gerindra sangat bergantung kepada figur Prabowo. Tak ubahnya dengan nasib PBB, dan mungkin juga nasib Demokrat kedepan.
Bagi partai yang sedang tenggelam bersama figur pemimpinnya, satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya adalah suksesi. Ganti pemimpin dengan figur baru yang lebih fresh dan tak kalah populisnya. Dengan catatan, pemimpin baru itu tidak didikte dan dibayang-bayangi oleh pemimpin lama yang tenggelam itu. Dan ini pernah saya sarankan ke PBB sebelum pilpres. Tak didengar, PBB pun tenggelam setelah gagal mencapai target minimal Parlementary Threshold di pilpres 2019.
Jadi, jika Prabowo ingin selamat, baik citra maupun posisioningnya sebagai tokoh yang berpengaruh, begitu juga dengan nasib Gerindra di masa depan, maka satu-satunya jalan dan pilihan adalah urungkan niat masuk dalam koalisi istana. Pilih oposisi, Prabowo akan jadi tokoh terhormat dan berpengaruh. Sekaligus bisa menyelamatkan nasib Gerindra untuk tahun-tahun yang akan datang. [kl/glr]
Jakarta,17/7/2019
Penulis: Dr. Tony Rosyid