Teuku Umar sekarang lagi dominan perannya mendampingi Jokowi. Tentu saja sangat berpengaruh dalam menyusun struktur pemerintahan, termasuk memasok SDM di kabinet yang kabarnya sudah selesai dibuat. Apakah susunan kabinet dan pejabat tinggi negara tidak mengakomodir kepentingan kelompok Godangdia dan para jenderal itu? Inilah yang jadi perseteruan selama ini di dua kubu tersebut. Lagi-lagi, soal bagi kue.
Apa hubungannya dengan Papua? Rusuhnya Papua telah mencoreng tidak saja wajah Jokowi, tapi juga ingin membuktikan bahwa BIN tidak bisa bekerja efektif disana. Apakah berarti kerusuhan Papua jadi alat negosiasi pihak-pihak tertentu? Nah itu yang publik masih duga-duga.
Konflik Papua juga akan memperkuat posisioning para elit yang ingin Papua Merdeka. Kalau merdeka, banyak kepetingan elit Papua terakomodir, terutama untuk mendapatkan posisi-posisi strategis. Punya presiden, wakil presiden dan menteri sendiri. Ada banyak jabatan, termasuk Jaksa Agung, Mahkamah Agung, MPR dan DPR. Belum lagi direksi dan komisaris BUMN. Kalau gagal merdeka? Setidaknya kerusuhan ini akan memberi ruang untuk menekan dan melakukan renegosiasi dengan pemerintahan pusat.
Bagaimana dengan kepentingan luar negeri? Ada 20 negara yang cari makan di Papua. Di saat kepentingan mereka terganggu, maka rusuh Papua juga akan jadi ajang bergaining.
So? Masalah Papua itu kompleks. Para pemain bergentayangan. Isu rasisme boleh jadi hanya semata-mata jadi kendaraan para pihak untuk melakukan ancaman dan bernegosiasi. Dalam sejarah, untuk memenuhi kepentingan elit, aset negara dan rakyat seringkali jadi korban. Saatnya di-stop! (*)
Penulis: Dr. Tony Rosyid