Belum sempat perda reklamasi itu disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan. Keputusan diambil tak lama setelah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri tak berkutik dan diam. Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.
Sampai disini, rasanya tidak bijak jika ada yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan pencitraan. Pencitraan itu cirinya: pertama, ada kesan dibuat-buat dan penuh kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama antara panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan kenyataan.
Kedua, ujung-ujungnya tidak ada pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar untuk iklan dan magnet mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana bukti. Ini bisa jadi alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.
Ketiga, biasanya berkaitan dengan hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian, tampil sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak meja. Semua hal tak penting yang kira-kira bisa jadi magnet perhatian. Itu namanya pencitraan.
Banyak orang tertipu dan jadi korban pemimpin yang hanya sibuk membuat pencitraan. Di media bilang A, di lapangan melakukan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti diutamakan. Anies-Sandi punya tugas untuk itu.
Pembatalan reklamasi adalah keputusan berisiko, apalagi sampai adu nyali lawan taipan, bahkan kekuasaan. Hanya “orang gila” yang melakukan ini untuk bermain-main dengan pencitraan.
Rupanya, Anies memang tidak bisa diancam. Semakin ia ditekan, semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi. Beginilah mestinya keberanian seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan. Soal ini, Anies bisa jadi inspirasi dan panutan.[kl/wa]
Jakarta, 10/1/2018
Penulis adalah Pengamat Politik (Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)