Eramuslim.com – Dimanapun negara, pasti berat bila berseberangan dengan penguasa dan taipan. Berani dikit, posisi bisa dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi “sandra” atau malah “tahanan”. Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya: makar dan negara terancam. “Klise”. Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti pancasila dan anti kebhinekaan, makin sempurnalah sebuah tuduhan.
Ketua-ketua partai dan para pimpinan daerah seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada sejak zaman Orla, Orba, dan sampai sekarang secara turun temurun diwariskan. Hanya beda kadar dan ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan beragam kemasan, ada pula yang terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.
Apakah tindakan represif ini juga dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahudin Uno?
Kabar yang banyak beredar, Anies juga sering jadi target dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak pihak meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah ancaman. Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala Jawa ini tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah seram. Vokal suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar senyuman.
Setelah Anies tutup Alexis, masyarakat mulai bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, sikap pendiam rupanya menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melakukan pembuktian. Orang belum yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan, di luar Alexis, ada Alexis-Alexis lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi bisa membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma pencitraan.