Kedua, aneh secara hukum karena keberadaan sebuah lembaga dijalankan dahulu untuk kemudian dicarikan payung hukumnya. Semestinya sebuah lembaga adalah instrumen pelaksanaan dari aturan hukum. Bahkan ironinya penguatan aturan BPIP itu justru di tengah wacana atau desakan agar BPIP dibubarkan.
Ketiga, jika dianggap telah ada Perpres yang mengatur BPIP lalu dibutuhkan sebuah undang-undang, maka dalam hal ini justru telah terjadi penjungkirbalikkan hukum. Mestinya undang-undang dahulu baru Perpres. Perpres itu untuk melaksanakan undang-undang.
Keempat, dipaksakan dan sekedar agar tidak “loosing face” dalam mengantisipasi RUU HIP yang telah babak belur bahkan hancur. Tidak ada kebutuhan mendesak atas keberadaan UU pengganti ini. Keterpaksaan dalam pembuatan aturan hanya menjadikan hukum sebagai ajang permainan.
Kelima, kalaupun dibuat, maka RUU PIP atau BPIP adalah RUU baru. Karenanya harus mengikuti prosedur pengajuan sebuah RUU. Untuk RUU seperti ini lebih layak menjadi RUU usulan Pemerintah bukan inisiatif Dewan. Hanya itu bahwa RUU ini harus masuk terlebih dahulu dalam Prolegnas bukan datang “ujug-ujug”.
Melihat tidak urgennya keberadaan BPIP dan ketentuan setingkat UU yang mengaturnya maka konsistensi publik akan sejalan dengan penolakan RUU HIP. Oleh karenanya tuntutan terhadap rencana adanya penggantian RUU ini pun sama saja, yaitu “Tolak RUU PIP atau BPIP” dan “Bubarkan BPIP”.
Bermain-main di aras ideologi hanya membuat gaduh bangsa dan negara. Nampaknya rezim ini gemar membuat gaduh. Rezim yang selalu menyusahkan rakyat.(end)
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan kebangsaan.)