Kelima, kesan politis lebih kuat ketimbang kebutuhan riel pemindahan. Pencitraan khas Jokowi lebih dominan. Kegagalan sekelas Esemka bisa terulang dari program yang awalnya seperti bagus. Jika memang dominan pencitraan.
Keenam, kesibukan rencana pemindahan Ibukota justru menimbulkan masalah pada kewilayahan lain yang tak serius difokuskan seperti kerusuhan Papua dan perjuangan pemisahan negara.
Ketujuh, ditinggalkan ibukota dari Jawa ke Kalimantan menimbulkan konfigurasi kewilayahan yang justru menjadi masalah baru seperti Bekasi Depok yang ingin bergabung dengan DKI Jakarta atau Referendum Jawa Barat dan Banten.
Kedelapan, alasan pemerataan kesejahteraan ekonomi dipertanyakan akurasinya. Pilihan ke Kalimantan justru tidak memeratakan Sumatera, Sulawesi, Maluku atau lainnya.
Jika dicari dasar penolakan tentu bisa lebih banyak lagi, karena janji-janji Presiden dahulu saja juga banyak yang tidak dijalankan dengan konsisten. Artinya tingkat kepercayaan publik tidak kuat. Presiden tidak berwibawa. Pemindahan ibukota membutuhkan kewibawaan dan kepercayaan prima seorang Kepala Negara oleh rakyatnya.
Oleh karena itu sebelum semua jelas, matang dan pasti tentang rencana pemindahan ini, maka sangat wajar jika rakyat menolak pemindahan tersebut. Khawatir justru agenda pemindahan tersebut justru lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya.
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik
[rmol]