Tolak Logo Halal Baru

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

BUKAN soal perlu atau tidaknya logo halal pada hasil sertifikasi, akan tetapi logo halal buatan Kemenag yang dipublikasikan nampaknya tidak pas dan mengundang kontroversi. Di samping itu Menag juga terlalu cepat menyatakan tidak berlakunya logo MUI. Sebagaimana penjelasan Sekjen MUI, bahwa logo lama MUI berlaku hingga tahun 2026. Menag bagai tengah ber-euforia telah berhasil merebut kewenangan sertifikasi halal dari MUI.

Bersimbol segitiga mengambil filosofi gunungan wayang kulit dengan tulisan kaligrafi halal yang tidak jelas dan interpretatif. Terasa kehilangan nilai sakral dari makna halal. Wakil Ketum MUI Anwar Abbas menyebut logo ini lebih menonjolkan seni semata. Buya Gusrizal Ketua MUI Sumbar menyebut tidak komprehensif karena hanya mengangkat nuansa budaya Jawa.

Olok-olok juga terjadi. Orang Minang membuat logo nuansa padang untuk halal. Ada yang menggambarkan seperti pohon cemara dengan berbagai coretan keruwetan bangsa dan tulisan di bawah “Halah Ind###s#a”. Ada yang merubah segitiga nya dengan “aseupan” atau kukusan bambu lalu “Halal Indonesia”. Muncul pula yang mengganti kaligrafi halal dengan ” Langka” bawahnya “Minyak Goreng Indonesia”. Tetap bentuk logo segitiga gunungan wayang kulit.

Yang paling parah adalah kaligrafi “halal” ujungnya seperti “ka” sehingga terbaca”halaka” artinya “kehancuran” bukan halal. Lalu warna ungu disebut warna keimanan padahal warna keimanan dalam islam itu hijau. Ungu warna Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan simbol salib Kristiani. Tulisan juga menurut ahli telah melanggar kaedah penulisan khat.

Khat kufi yang digunakan ternyata keliru. lam pada “halal” ditengah seperti “ro” dan akhir ada “mim” jadi bisa dibaca  “haram”. Fatal sekali. Semestinya sebelum ditetapkan diuji dulu baik secara estetika maupun kesahihan dalam kaidah penulisan. Jangan semata ingin menonjolkan seni dan budaya yang akhirnya membuang aspek kesakralan atau nilai-nilai syari’ah dari hukum “halal” tersebut.