Oleh Asyari Usman
Ternyata, kata ‘bangsa’ dan ‘bangsat’ dalam kosa kata Indonesia tidak terlahir secara kebetulan. Kedua kata yang berbeda maqam itu ditakdirkan berseberangan dalam makna.
Mari kita rujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sungguh luar biasa pengertian ‘bangsa’ dan ‘bangsat’. Luar biasa perbedaannya. Yang satu sarat dengan makna kemuliaan. Yang satu lagi penuh dengan makna kehinaan, negatif dan buruk.
Kata ‘bangsa’ antara lain berarti “kelompok masyarakat yang bersamaan asal-usul keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya”. Contohnya: bangsa India, bangsa Indonesia, bangsa Turki, bangsa Filipina, dan lain sebagainya. Tentu di sini ‘bangsa’ sebagai kata benda (pronoun).
Seterusnya, ‘bangsa’ juga berarti “kedudukan atau keturunan yang mulia”. Sebagai kata sifat (adjective). Contoh pemakaiannya: “bahasa menunjukkan bangsa”, menunjukkan kelas seseorang. Kalau dia berbahasa dengan baik runtut, mudah dipahami, berisi, bukan omong kosong, bukan bohong, bukan tipu-tipu, maka terlihatlah kelas pemikiran orang tersebut. Cara ia bertutur menunjukkan ketinggian ilmunya, kemuliaan akhlaknya.
Kemudian kita cermati makna kata ‘bangsat’. Sangat dahsyat keburukan artinya. Padahal cuma berbeda satu huruf saja, yaitu huruf “t”.
Serem arti kata ‘bangsat’ menurut KBBI. Yaitu, ‘kepinding’ dan ‘kutu busuk’. Kepinding adalah jenis serangga yang terkenal karena menghuni ceruk-ceruk tilam tradisional dan sudut kelambu zaman dulu. Kepinding akan keluar dari sarangnya ketika ada orang yang tidur menggunakan tilam atau kelambu yang jarang dibersihkan. Kepinding itu mengisap darah manusia.
Terus, ‘kutu busuk’ adalah sejenis kutu yang bila digilas akan mengeluarkan bau busuk yang cukup sengit. Jadi, ‘bangsat’ dalam arti ‘kutu busuk’ tidak kalah serunya dibanding ‘kepinding’.
Pembahasan kata ‘bangsat’ masih berlanjut. Makna lain ‘bangsat’ adalah “orang yang bertabiat jahat” khususnya orang-orang yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya.
Nah, ini sangat menarik. Koruptor, maling tambang, maling uang negara, money laundering (pencucian uang haram), penilapan anggaran adalah ‘bangsat’ menurut KBBI. Singkat kata, “orang yang bertabiat jahat” adalah ‘bangsat’.
Sekarang, kita lihat siapa yang ‘bangsa’ dalam konotasi ‘berkelas’ dan siapa yang ‘bangsat’. Apa yang sesungguhnya dibangun oleh para tokoh ‘bangsa’ dan tokoh ‘bangsat’?
Sudah pasti mereka berkiprah di dua konsep pembangunan yang berbeda kontras. Para tokoh ‘bangsa’ telah dan akan selalu berikhtiar untuk membangun ‘peradaban’. Sedangkan para tokoh ‘bangsat’ akan berlomba-lomba membangun ‘kebiadaban’.
Apa itu ‘peradaban’ dan apa pula ‘kebiadaban’? Peradaban adalah kemajuan lahir-batin dalam kecerdasan dan kebudayaan. Sedangkan kebiadaban adalah ‘sifat’ atau ‘keadaan’ biadab. Makna ‘biadab’ adalah ‘belum beradab’ atau ‘ tidak maju kebudayaannya’. Arti lain ‘biadab’ adalah ‘tidak tahu adat’ (sopan-santun) alias ‘kurang ajar’. Kata ‘biadab’ juga berarti ‘tidak beradab’ atau ‘kejam’.
Jadi, ada pembangunan peradaban dan ada pembangunan kebiadaban. Kita elaborasi lebih lanjut dalam konteks Indonesia. Supaya jelas siapa yang membangun peradaban dan siapa yang membangun kebiadaban.
Para cendekiawan, pemikir, ilmuwan, dan negarawan pastilah masuk ke golongan yang selalu berpikir dan berbuat untuk peradaban manusia. Pastinya, peradaban itu dibangun oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan ilmiah dan keluasan wawasan. Mereka adalah orang-orang yang jauh dari ambisi kekuasaan dan ambisi sempit lainnya.
Para pembangun peradaban jauh dari kerakusan. Mereka selalu visioner untuk kemaslahatan publik dan untuk kemajuan bangsa (the nation) dan negara (the state). Peradaban akan melahirkan orang-orang beradab yang menjunjung tinggi etika dan hukum
Pembangunan dinasti, khususnya dengan cara yang culas dan memaksakan kehendak, adalah limbah peradaban. Dan limbah peradaban adalah kebiadaban.
Dalam konteks kekinian Indonesia, rakyat sedang menyaksikan akrobat seorang tokoh ‘bangsat’ yang sedang membangun kebiadaban. Dia menggunakan semua sumber daya kekuasaan untuk menyempurnakan kebiadaban itu. Si tokoh ‘bangsat’ merasa berhak membangun dinasti keluarganya.
Mengapa si tokoh ‘bangsat’ merasa berhak? Karena dia merasa Indonesia ini dihuni oleh kawanan ‘bangsat’ seperti dirinya. Sehingga, dia menyimpulkan bahwa cara-cara biadab cocok untuk negeri ini.
Itu perasaan si tokoh ‘bangsat’. Dia lupa bahwa rakyat Indonesia sudah jauh di depan dalam peradaban. Hanya keluarga si tokoh ‘bangsat’ dan kroni-kroni ‘bangsat’-nya saja yang masih belum beradab.
Hari ini, para tokoh ‘bangsa’ bekerja keras untuk mencegah agar gerombolan ‘bangsat’ tidak berhasil membangun kebiadaban. Perjuangan ini berat. Karena gerombolan ‘bangsat’ sudah mensosialisasikan kebiadaban itu ke seluruh pelosok negeri dan ke semua tingkat pemangku kekuasaan.
Jadi, kita sedang menyaksikan perpacuan antara tokoh ‘bangsa’ yang membangun peradaban dan tokoh ‘bangsat’ yang membangun kebiadaban.[]
19 April 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)