4. Komunikasi politik Jokowi juga amat buruk dan melemahkan elektabilitasnya. Pemilihan diksi genderuwo, sontoloyo, tabok, dalam kancah politik nasional menunjukan bahwa Jokowi bukanlah politisi Jawa yang santun.
Begitu juga di fora Internasional Jokowi tampak gagap dan terbata-bata berbahasa asing. Sering tampak bahwa Jokowi tidak menguasai masalah yang sederhana sekalipun. Bahkan untuk sekedar nyanyi gambus saja, selain fals juga salah lirik. Ingatkan, Jainudin najiro. He he he…
Komunikasi yang dilakukan Jokowi selama masa kampanye ini, tidak mampu meyakinkan pemilih, tetapi malah mengurus popularitasnya. Sementara lingkungan sekitarnya tampaknya setengah hati menjalankan peran mediator yang cakap kepada publik.
5. Blow Up berita yang berlebihan, diulang-ulang namun minim hal-hal subtansial, remeh-temeh dan tidak berbobot, membuat rakyat jenglah dan semakin jengkel. Rakyat semakin cerdas bahwa media menstream telah bertindak sangat pongah, partisan, tidak jujur, menyembunyikan fakta, dan membela mati-matian Jokowi.
Tidak diliputnya Reuni 212, oleh sebagian besar pers nasional telah membuka tabir busuk. Semua itu pada akhirnya akan menjadi senjata makan tuan. Ditambah lagi dengan survei abal-abal yang dilakukan Denny JA dan komentarnya yang sangat partisan, telah menjadi bumerang bagi Jokowi.
6. Keberadaan partai pendukung tidak banyak menolong. Setidaknya hingga hari ini belum ada partai yang bergerak memobilisasi di tingkat grassrote. Bahkan atribut-atribut partai tidak secara jelas mendukung Jokowi.
Beberapa partai pendukung justeru menjadi beban bagi Jokowi. PSI adalah salah satunya, yang oleh politisi golkar dianggap sebagai energi negatif. Sementara Nasdem, yang diperkirakan tidak lolos PT, hanya mendominasi papan reklame di kota-kota besar.
Titik lemah Jokowi diatas tampaknya akan sangat sulit diatasi dan akan membuat Jokowi kalah. Malah ada yang memperkirakan kalah telak. [kl/rmol]
Mochammad Sa’dun Masyhur
Penulis adalah Alumnus Megister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.