Eramuslim.com – Mukadimah diatas hendak mengingatkan, manusia hadir didunia dalam ruang tak kosong tapi bersama – sama orang lain dalam hubungan Liebendes Mit-sein, relasi ” Aku – Engkau ” yang bersifat dialogis dan saling menghormati. Untuk itu manusia harus mengakui keberadaan orang lain sebagai engkau, sebagai bentuk penghormatan pada subjektivitas sesama. Inilah relasi antar manusia sebagai langkah awal peradaban yang akan dibangun pancasila melalui hak suara (hak berpikir).
Konsepsi dasar peradaban tersebut pun luluh lantak akibat demokrasi. Hak suara difaitaccompli oleh komunikasi monolog menjadi hak pilih. Relasi “ Aku – Engkau “ mengalami penciutan signifikansi, terjatuh menjadi relasi (meminjam istilah Martin Burber) “ Aku Itu “. Manusia dalam demokrasi akan cenderung memperlakukan orang lain sebagai objek yang bisa dimanipulasi dan dijadikan alat.
Dan kini kita menyaksikan demokrasi membuat orientasi nilai – nilai kehidupan pragmatis, materialiatis, dengan tolak ukur serba kuantitatif, secara telanjang bulat telah menjajah cara berpikir anak – anak bangsa. Situasi seperti ini sangat membahayakan karena akan melahirkan sikap hidup yang kerdil, tertutup dan relasi antar manusia menjadi sangat manipulatif.
Inilah bahaya latent demokrasi. Atas nama demokrasi, tibalah bangsa indonesia pada sebuah peradaban dimana manusia tergerus proses dehumanisasi (meniadakan nilai manusia) yang begitu rapih dan sempurna sehingga tak pernah menyadarinya.