Ratna berbeda, Ratna adalah seorang aktivis lawas yang sangat lantang menentang rezim Soeharto yang sangat otoriter ketika itu. Ratna bahkan pernah mendekam di penjara lantaran menyerukan perubahan untuk keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.
Kritik pedas Ratna di masa Orba juga disampaikan melalui karya seni. Salah satunya adalah pementasan monolog berjudul Marsinah Menggugat, sebagai respon keputusan pemerintahan Soeharto menutup kasus pembunuhan Marsinah.
Keberanian dan konsistensi Ratna Sarumpaet berbuah penghargaan The Female Special Award for Human Rights dari lembaga The Asian of Foundation of Human Rights. Sosoknya juga diabadikan dalam film dokumenter berjudul “The Last Prisoner of Soeharto” oleh ARTE, stasiun televisi Perancis dan Amnesty International.
Terakhir kali, pada tanggal 18 September 2018, saya kaget, terhentak, surprise dengan langkah politik Ratna Sarumpaet yang mempersoalkan pemblokiran rekening dalam mata uang dolar AS, jika dirupiahkan sebesar Rp 23,9 triliun. Rekening triliunan itu katanya milik seorang warga negara bernama Ruben P.S. Marey, katanya dana tersebut berasal dari donasi international untuk pembangunan di Papua.
Menurut Ratna, kasus yang dialami Ruben hanyalah satu dari tujuh kasus yang dilaporkan kepadanya. Ratna menuntut pertanggunjawan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan atas pemblokiran rekening warga negara tersebut. Ratna bahkan menyurati dan menelpon pejabat Bank Dunia untuk menklarifikasi keberadaan rekening tersebut.
Bagi saya, kasus pemblokiran rekening yang diungkap Ratna tersebut bukanlah masalah yang sederhana dan sepele. Dapat diduga terkait dengan penanggungjawab projek di Papua di dalam Pemerintahan. Apakah ada yang “kebakaran kantong” dari langkah Ratna tersebut?
Ratna Dianiaya Secara Biadab
Dan, hari ini media on line dan media sosial, beredar kabar yang disertai photo Kak Ratna bengkak dan lebam. Ratna Sarumpaet yang berani, kritis dan konsisten itu dianiaya secara kejam, keji dan biadab oleh tangan-tangan kuasa kegelapan yang fasik, yang terganggu dengan langkah dan sikap politik Ratna. Katanya Ratna dianiaya tanggal 21 September yang lalu, lantaran trauma, baru diumumkan sekarang.
Bagi saya, musibah yang dialami oleh Ratna adalah teror biadab yang tidak hanya ditujukan kepada Ratna pribadi. Tujuan utamanya selain menghentikan langkah Ratna, adalah untuk meneror aktivis yang kritis kepada pemerintah, tentu agar tidak ada lagi yang berani bersikap kritis terhadap kejahatan dan penyelewengan yang terjadi.
Kasus penganiayaan Ratna ini harus segera diusut tuntas. Pelaku, dalang dan motifnya penganiayaan juga harus diungkap tuntas. Kita menunggu para aktivis pro demokrasi dan HAM yang saat ini menjadi pendukung Joko Widodo itu berbuat untuk mengungkap kasus ini. Tidak hanya itu, kasus pemblokiran rekening yang disuarakan Ratna juga harus diusut dan diungkap tuntas.
Tentu menjadi keprihatinan kita, kenapa demokrasi justru dibungkam di era pemerintahan sipil produk demokrasi. Kenapa pemerintahan sipil yang katanya pro demokrasi, justru membiarkan pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang berbeda pandangan politik?
Hingga kini, sejumlah catatan pelanggaran demokrasi dan HAM terjadi di era pemerintahan Joko Widodo yang menjadi perhatian dan catatan kita, diantaranya penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, teror tembakan liar menyasar rumah sejumlah politisi, kriminalisasi aktivis yang dituduh makar.
Penulis adalah teman seperjuangan Ratna Sarumpaet dan eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 [rmol]